Jumat, 03 April 2009

Landasan Teori Belajar

LANDASAN TEORI TENTANG BELAJAR

Ada tiga hal yang berkaitan dengan belajar yang akan dibahas dalam bab ini sebagai landasan teori, yaitu tentang pengertian belajar menurut para ahli pendidikan, tujuan belajar; yakni hasil apa yang diinginkan dari kegiatan pembelajaran tersebut dan metode pembelajaran yaitu bagaimana cara atau jalan yang harus ditempuh untuk mendapatkan hasil/ memperoleh tujuan yang telah dirumuskan dari kegiatan pembelajaran.

A. PENGERTIAN BELAJAR
Kalau ditanyakan apakah belajar itu , maka jawaban yang kita dapatkan bermacam-macam. Merumuskan pengertian belajar yang memadai, ternyata memang bukan pekerjaan yang mudah. Hal ini diakui oleh Sumadi Suryabrata dalam bukunya “Psikologi Belajar”. Karena itu wajarlah kalau ditemukan banyak definisi tentang belajar sebanyak ahli yang merumuskannya.
Menurut ahli psikologi belajar, belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan hal tersebut akan dinyatakan dalam seluruh aspek tingkah laku. Oleh karenanya, menurut mereka belajar didefinisikan sebagai berikut :
“Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 1991: 1)”.

Dari pernyataan tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar, tidaklah tingkah laku yang dilakukan dengan sembarangan tanpa adanya aturan, akan tetapi perubahan tingkah laku itu mempunyai ciri-ciri tertentu, yaitu :
1. Perubahan tersebut terjadi secara sadar.
2. Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional.
3. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif.
4. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara.
5. Perubahan dalam belajar bersifat terarah.
6. Perubahan mencakup segala aspek tingkah laku.
Sedangkan menurut Ramayulis dalam bukunya Methodologi pengajaran Agama Islam (1990: 76), yang menukil pendapat HM. Arifin, mengatakan bahwa Belajar adalah kegiatan anak didik dalam menerima, menanggapi serta menganalisis bahan-bahan pelajaran yang disajikan oleh pengajar, yang berakhir pada kemampuan untuk menguasai bahan pelajaran yang diajarkan itu.
Dari definisi tersebut diatas dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu rangkaian proses kegiatan respon yang terjadi dalam proses belajar mengajar yang menimbulkan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh. Atau dengan kata lain perubahan perbuatan tersebut sebagai akibat dari pengalaman.
Menurut pendapat lain mengatakan bahwa :
Belajar adalah proses pertumbuhan yang tidak disebabkan oleh proses pendewasaan biologis. Karena belajar merupakan proses tingkah laku (baik yang bisa dilihat ataupun yang tidak), maka keberhasilan belajar terletak pada adanya perubahan tingkah laku yang secara relatif bersifat permanen (Ramayulis, 1990: 77).


Dari berbagai definisi tersebut diatas dapat disimpulkan berupa ciri-ciri sebagai berikut :
1. Belajar adalah aktifitas yang menghasilkan perubahan pada diri individu yang belajar baik aktual maupun potensial.
2. Perubahan tersebut pada pokoknya berupa perubahan kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama.
3. Perubahan tersebut terjadi karena adanya usaha.
Jadi dengan dengan demikin, belajar bukan menghafal atau bukan pula mengingat. Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuannya, pemahamannya, sikap dan tingkah lakunya, keterampilannya, kecakapannya dan kemampuannya, daya reaksinya, daya penerimaannya dan lain-lain aspek yang ada pada individu.
Oleh sebab itu belajar adalah proses yang aktif. Belajar adalah mereaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar adalah proses yang diarahkan kepada tujuan, proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar adalah proses melihat, mengamati, memahami sesuatu. Apabila kita berbicara tentang belajar, maka kita berbicara bagaimana mengubah tingkah laku seseorang. Inilah hakikat belajar sebagai inti proses pengajaran.
Apabila belajar dipahami sebagai salah satu sarana untuk melakukan perubahan perilaku yang bersifat personal. Wolfok dan Nicolich (1984: 161), mengatakan bahwa belajar adalah perubahan internal pada seseorang dalam bentuk formulasi asosiasi baru, atau potensial baru, semua ini terjadi dalam kemampuan seseorang. Definisi tersebut menyadari bahwa substansi belajar adalah suatu proses yang berlangsung dalam diri seseorang (pandangan kognitif), tetapi juga menekankan pentingnya perubahan tingkah laku yang teramati sebagai indikasi bahwa belajar telah terjadi (pandangan behavioristik).
Berkaitan belajar merupakan proses internal, Burton (1963:7) mengatakan, belajar adalah perubahan dalam diri individu sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya, untuk memenuhi kebutuhannya dan menjadikannya lebih mampu melestarikan lingkungan secara memadai.
Gagne (1965:5) mengatakan belajar adalah suatu perubahan dalam diri disposisi atau kapabilitas manusia yang berlangsung selama jangka waktu tertentu dan tidak sekedar sebagai proses petumbuhan (Learning is change in human disposition or capabilitiy, which can be retained, and which is not simply ascribable to the process of growth”).
Winkel (1999:27), mengatakan bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan dan nilai-sikap. Perubahan tersebut bersifat secara relatif konstan dan berbekas. Perubahan-perubahan tersebut dapat berupa suatu hasil yang baru atau penyempurnaan terhadap hasil yang telah diperoleh.
Belajar yang merupakan hasil pengalaman, sebagai perubahan dalam individu dan perubahan kapabilitas individu semuanya merupakan aktivitas psikis, maka yang mengetahui seseorang belajar atau tidak, dirinya sendiri. Orang lain hanya bisa melihat gejala yang nampak sebagai aktivitas belajar. Kehadiran atau keberadaan individu di tempat belajar bukanlah sebuah jaminan bahwa seseorang telah belajar atau telah berinteraksi aktif dengan lingkungannya.
Knowles (1978:7) mengatakan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses pembentukan perilaku, perilaku diubah dan dikendalikan. Ia juga mengartikan pembelajaran dari aspek fungsi, yakni suatu perubahan yang dapat memberikan hasil jika orang-orang berinteraksi dengan informasi (materi kegiatan dan pengalaman). Pada akhirnya ia berkesimpulan bahwa pembelajaran merupakan usaha sistematis yang terorganisasi untuk memajukan belajar, membina kondisi, dan menyediakan kegiatan-kegiatan yang mengakibatkan terjadinya peristiwa belajar.
Perubahan perilaku sebagai hasil belajar dalam bentuk pengetahuan, nilai-sikap dan keterampilan yang terjadi pada anak didik seharusnya proses psikis. Sehingga perubahan tersebut benar-benar diyakini sebagai yang terbaik sebagai langkah pembangunan karakter peserta didik. Penekanan pada orientasi belajar pada proses psikis diharapkan juga hasilnya relatif konstan (tetap). Perubahan tersebut bukan merupakan suatu keterpaksaan. Tetapi perilaku tersebut menjadi keyakinan dan dimilikinya sebagai yang benar.

B. TUJUAN BELAJAR
Apabila belajar dipandang sebagai suatu proses, maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan. Tujuan merupakan komponen yang sangat penting dalam setiap proses pembelajaran karena menjadi acuan seluruh langkah-langkah dalam proses tersebut. Disamping itu, ia juga sekaligus sebagai tolok ukur keberhasilan proses pembelajaran. Ia merupakan gambaran tentang perilaku yang diharapkan akan tercapai oleh peserta didik setelah mengikuti proses tersebut. Perilaku yang diharapkan tersebut secara operasional digambarkan dalam bentuk karakteristik sosok individu yang diidealkan untuk bisa terwujud dalam diri peserta didik setelah proses pembelajaran selesai. Dengan demikian, proses pembelajaran dimaksudkan agar peserta didik nantinya akan memiliki karakteristik sebagaimana yang digambarkan dalam sosok ideal tersebut (Chabib Thoha dkk, 1999: 12-13).
Belajar berdasarkan tujuannya menurut beberapa ahli dikategorikan menjadi tiga yaitu belajar kognitif yang menekankan pada perubahan dan pengetahuan. Kemudian belajar afektif yang menekankan pada perubahan dan pengembangan sikap dan perilaku. Serta belajar psikomotor yang menekankan pada perubahan dan pengembangan gerak otot/ tubuh (keterampilan). Sehingga tujuan belajarpun, menurut mereka tidak lepas dari ketiga hal tersebut.
1. Belajar Kognitif
Secara umum belajar kognitIf memfokuskan pada aktivitas mental seperti berfikir dan merasa. Bloom (Wolfok dan Nicolich, 1984: 389) mengelompokan aspek kognitif dalam enam tujuan yaitu:
a. Knowledge yaitu mengingat kembali meskipun tanpa pemahaman (mendapatkan atau mengenali kembali informasi)
b. Comprehension yaitu memahami materi meski tanpa mengkomparasikan dengan yang lain (menyerap arti dari konsep)
c. Application yaitu menggunakan konsep umum untuk pemecahan masalah dalam situasi belajar (menerapkan konsep-konsep dasar kedalam situasi tertentu atau situasi konkrit, berupa penggunaan aturan, prinsip, hukum dan teori)
d. analisis yaitu menguraikan materi sesuai pada kelompoknya (menguraikan suatu konsep kedalam bagian-bagiannya sehingga strukturnya dapat dipahami, dan mengidentifikasi bagian-bagian serta menjelaskan hubungan antar bagian)
e. syntesis yaitu menciptakan sesuatu yang baru yang didasarkan pada apa yang diketahui
f. evaluation yaitu menilai materi atau metode yang diterapkan pada situasi khusus.
Belajar kognitif diharapkan anak didik mampu berpikir kritis, analitis, sehingga anak didik mampu memahami permasalahan-permasalahan yang dihadapinya dan memiliki kemampuan untuk memecahkan masalahnya sendiri. Karena pada dasarnya permasalahan itu ada pada dirinya sendiri.
2. Belajar Afektif
Belajar afektif mengarahkan anak untuk menyadari akan masalahnya, keberanian menghadapi masalah, ketekunan dan kejujuran sebagai pembangunan karakter (watak) anak didik. Sebagaimana dikatakan oleh Dewey (Goble:1971) bahwa “Sudah merupakan hal yang lumrah dalam teori pendidikan pembentukan watak merupakan tujuan umum pengajaran dan pendidikan budi pekerti”.
Bloom (Wolfok dan Nocolich, 1984: 390) mengatakan, belajar afektif diawali dengan tahapan-tahapan sebagai berikut : Pertama tahap receiving (penerimaan), yakni mencakup adanya suatu perangsang dan kesediaan anak didik untuk memperhatikan rangsangan tersebut. Kedua, tahap responding (partisipasi), yakni kerelaan anak didik untuk memperhatikan secara aktif dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan pembelajaran. Ketiga, tahap valuing (penilaia atau penentuan sikap), yakni kemampuan anak didik untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu dan membawa diri sesuai dengan penilaian tersebut. Dalam tahap ini mulai dibentuk suatu sikap: menerima, menolak atau mengabaikan; sikap itu dinyatakan dalam tigkah laku yang sesuai dan konsisten dengan sikap batin. Kemampuan itu dinyatakan dalam suatu perkataan atau tindakan. Perkataan atau tindakan itu dinyatakan tidak hanya sekali saja, tetapi diulang kembali saat kesempatan itu timbul, sehingga nampaklah suatu sikap tertentu. Keempat, tahap organization, yaitu kemampuan anak didik untuk membentuk sistem nilai sebagai pedoman dan pegangan dalam kehidupanya. Nilai-nilai yang diakui dan diterima ditempatkan pada suatu skala nilai: mana yang pokok dan selalu harus diperjuangkan, mana yang tidak begitu penting. Kemampuan itu dinyatakan dalam suatu perangkat nilai, seperti menyusun rencana masa depannya dengan kemampuan dirinya, minat dan cita-citanya. Tahap organisasi ini mengandung unsur kognitif sebagai dasar untuk bertindak. Kelima, characterization by a value or value complex (pembentukan pola hidup), kemampuan untuk menghayati niali-nilai kehidupan sedemikian rupa, sehingga menjadi milik pribadi (internalisasi) dan menjadi pegangan nyata dan jelas dalam mengatur kehidupannya sendiri. Pada tahap ini orang telah memiliki suatu perangkat nilai yang jelas hubungan yang satu sama lain, yang menjadi pedoman dalam bertindak dan konsisten selama kurun waktu yang cukup lama.
Internalisasi pada diri seseorang dimulai dari kesadaran akan sesuatu, meningkat pada kemauan untuk menerima, perhatian pada respon, persetujuan pada respon, kemauan untuk merespon, kepuasan dalam merespon, peneriman pada nilai, pilihan terhadap nilai, komitmen, konseptualisasi sistem nilai, kemudian nilai-nilai terkumpul secara umum, dan akhirnya menjadi karakter seseorang. Karakter inilah yang menjadi proses internalisasi pada seseorang.
Kesadaran mengandung aspek tahu, mengerti, merasa, dan insyaf yang selanjutnya diwujudkan dalam perbuatan. Pembinaan anak didik harus diorientasikan pada kesadaran yang dapat merubah perilaku yang baik. Menyadari akan dirinya sebagai manusia yang mempunyai keharusan individu untuk berbuat baik demi pengembangan potensinya dan keharusan patuh sosial demi kelangsungan hidup sosialnya. Milgram (Schugurensky, 2002), mengingatkan dalam teori kognitif sikap kepatuhan tidak datang dengan tiba-tiba, prosesnya gradual dan terjadi pada langkah-langkah yang sedikit demi sedikit.
3. Belajar Psikomotor
Lovel (1984:74) mengatakan bahwa semua jenis keterampilan, apakah keterampilan industrial atau keterampilan untuk kehidupan sehari-hari, apakah melibatkan kegiatan fisik atau merupakan kegiatan mental, memiliki ciri-ciri yang umum. Kesemuanya dipelajari dan melibatkan kegiatan yang terorganisasi, serta terkoordinasi dalam hubungannya dengan beberapa obyek atau peristiwa khusus. Semua itu juga melibatkan urutan dan koordinasi sejumlah proses yang berbeda atau kegiatan yang urutannya bersifat sementara. Kegiatan ini bersifat serial dalam arti satu kegiatan diikuti oleh kegiatan yang lain.
Mappa dan Basleman (1994) mengemukakan, bahwa bayi yang baru lahir, mula-mula belajar mengkoordinasikan gerakan tubuhnya, belajar berjalan, kemudian berusaha untuk memperoleh lebih banyak lagi keterampilan yang melibatkan koordinasi tubuh, tangan dan mata yang memungkinkan mata dan bermain. Dengan demikian, pada waktu mencapai kedewasaan, seseorang telah memperoleh ulangan dari ribuan macam keterampilan. Rentang keterampilan yang diperoleh mulai dari yang paling mudah sampai pada pengoperasian tekhnologi yang canggih. Karena lingkungan hidup berubah dan berkembang, maka manusia perlu memilki keterampilan yang memadai untuk mengatasi masalah yang diakibatkan oleh situasi lingkungan hidup. Untuk dapat memiliki suatu keterampilan, diperlukan proses baik fisiologis maupun psikologis. Dalam fungsinya sistem syaraf manusia menerima informasi dari lingkungan sekitarnya yang memproses informasi tersebut, mengambil keputusan tentang signifikasinya, kemudian bilamana diperlukan, dilakukan tindakan fisik sebagai akibat dari keputusan yang diambil. Belajar psikomotorik menurut klasifikasi Harrow (Wolfok dan Nicolich, 1984: 391), adalah sebagai berikut:
a. Perception (persepsi), mencakup kemampuan untuk mengadakan diskriminasi yang tepat antara dua perangsang atau lebih, berdasarkan perbedaan antara ciri-ciri fisik yang khas pada masing-masing rangsangan. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam suatu reaksi yang menunjukkan kesadaran akan hadirnya rangsangan dan perbedaan antara rangsangan-rangsangan lain yang ada.
b. Kesiapan (set), mencakup kemampuan untuk menempatkan dirinya dalam keadaan akan memulai suatu gerakan atau rangkaian gerakan. Kemampuan ini dinyatakan dalam bentuk kesiapan jasmani dan mental.
c. Guide response (gerakan terbimbing), kemampuan untuk melakukan suatu rangkaian gerak-gerik, sesuai dengan contoh yang diberikan (imitasi).
d. Mechanical response (gerakan yang terbiasa), kemampuan untuk melakukan rangkaian gerakan dengan lancar, karena sudah dilatih secukupnya, tanpa memperhatikan lagi contoh yang diberikan.
e. Complex response (gerakan komplek), kemampuan untuk melaksanakan suatu keterampilan, yang terdiri atas beberapa komponen dengan lancar, tepat, dan efisien. Kemampuan ini dinyatakan dalam suatu rangkaian perbuatan yang berurutan dan menggabungkan beberapa sub keterampilan menjadi suatu keseluruhan gerak yang teratur, seperti dalam keterampilan bongkar pasang mobil, menjahit, dan lain-lain.
f. Adjustment (penyesuaian pola gerakan), kemampuan untuk mengadakan perubahan dan menyesuaikan pola gerakan dengan kondisi setempat atau menunjukkan suatu taraf keterampilan yang telah mencapai kemahiran.
g. Creativity (kreativitas), kemampuan untuk melahirkan pola-pola gerakan yang baru, seluruhnya atas dasar prakarsa dan inisiatif sendiri.
C. METODE PEMBELAJARAN
Dalam proses pendidikan, metode mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan, karena ia menjadi sarana yang membermaknakan materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum sedemikian rupa, sehingga dapat dipahami dan diserap oleh anak didik menjadi pengertian yang fungsional terhadap tingkah lakunya (H.M. Arifin, 1997: 197). Bahkan metode merupakan faktor yang sering disoroti banyak orang. Berhasil atau tidaknya program pengajaran sering dinilai dari metode yang digunakan oleh guru dalam kegiatan pengajaran (Mulyanto Sumardi, 1974: 7).
Sebagai salah satu komponen operasional dalam ilmu pendidikan, metode harus mengandung potensi yang bersifat mengarahkan materi pelajaran kepada tujuan pendidikan yang hendak dicapai melalui proses tahap demi tahap, baik dalam kelembagaan formal, non formal ataupun informal (H.M. Arifin, 1991: 198).
Dalam penggunaan metode sebagai sarana dalam pencapaian tujuan, kiranya perlu diketahui tujuan itu sendiri. Perumusan tujuan secara jelas merupakan persyaratan penting sebelum menentukan dan memilih metode yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran (Zuhairini, 1983: 79).
Berbicara masalah metode pendidikan, kita terpaksa memasuki daerah yang cukup luas pembahasannya, karena akan mencakup beberapa aspek penting dalam pendidikan. Seperti faktor anak didik, pendidik, alat pendidikan dan lingkungan dalam pendidikan, serta bagaimana cara kita melaksanakan pendidikan dengan sebaik-baiknya demi tercapainya tujuan yang kita inginkan.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka pembahasan mengenai metode pembelajaran akan penulis konsentrasikan pada masalah kurikulum, guru, murid, fitrah dan lingkungan, teknik dan proses belajar, dan waktu belajar sebagai landasan teori dalam skripsi ini.
1. Kurikulum
Suatu tujuan kependidikan yang hendak dicapai harus direncanakan (diprogramkan) dengan apa yang disebut “kurikulum”. Antara tujuan dan program harus ada kesesuaian atau kesinambungan. Tujuan yang hendak dicapai harus tergambar di dalam program yang tertuang di dalam kurikulum, bahkan program itulah yang mencerminkan arah dan tujuan yang diinginkan dalam proses kependidikan.
Oleh karenanya kurikulum dapat didevinisikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang tertentu yang harus ditempuh atau sejumlah pengetahuan yang harus dikuasai untuk mencapai suatu tingkat atau ijazah (Zuhairini, 1983: 58).
Dalam dunia pendidikan modern, kurikulum bukan saja diartikan sebagai ruang lingkup atau rangkaian pelajaran yang ditawarkan dalam suatu program sekolah, akan tetapi kurikulum mengandung pengertian yang luas, Hirts dan Peters menekankan pada aspek fungsional. Kurikulum sebagai “rambu-rambu” yang menjadi acuan bagian proses belajar mengajar. Sedangkan Musgave lebih menekankan pada ruang lingkup pengalaman belajar yang meliputi pengalaman di dalam maupun di luar sekolah. Pendapat diatas senada dengan pendapat Romine Stephen bahwa kurikulum mencakup segala materi pelajaran, aktifitas dan pengalaman anak didik dimana ia berada dalam kontrol lembaga pendidikan, baik hal itu terjadi di dalam atau di luar kelas (Romine Stephen, 1954: 14).
Kurikulum haruslah didasarkan pada realitas kehidupan dan pengalaman sehari-hari anak didik, maka kurikulum haruslah bersifat fleksibel sesuai dengan situasi dan kondisi (Imam Barnadib, 1997: 36). Disamping itu kurikulum juga harus disesuaikan dengan minat anak didik dan bukan berdasarkan selera guru. Dengan demikian hal ini berarti mengembangkan “chield centered curriculum”, artinya pendidikan difokuskan pada pengembangan individual anak didik, memberi mereka kebebasan berkreasi, beraktivitas dan berkembang sebagai pribadi yang mandiri.
Rugg dalam pandangannya mengenai kurikulum menyatakan, kurikulum yang tepat adalah yang mempunyai nilai-nilai edukatif. Maksudnya adalah nilai-nilai yang serasi dengan tujuan menurut prinsip-prinsip yang digariskan dalam pendidikan dan dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan anak didik (Imam Barnadib, 1997: 36).
John Dewey menyatakan bahwa : “The good school is concerned with every kind of learning that help student, young and old, to grow”.(M. Noer Syam, 1988: 253).
Selanjutnya Dewey menegaskan ada tiga butir penting yang harus dipertimbangkan dalam perumusan kurikulum di segala tingkat, Pertama, harus diperhatikan hakikat dan kebutuhan siswa, Kedua, hakikat dan kebutuhan masyarakat dimana siswa sebagai bagian dari masyarakat, ketiga , masalah pokok yang digumuli siswa untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang matang dan mampu menjalin hubungan dengan pribadi dalam masyarakat (Sidney Hook, 1994: 183).
Brameld berpendapat kurikulum yang baik adalah yang melepaskan semua garis penyekat mata pelajaran dan menekankan pada unit-unit, … yang dihasilkan dan dibentuk dari pertanyaan-pertanyaan dan pengalaman dari anak didik sendiri dan diarah kan pada perkembangan kepribadian yang penuh.dengan jalan memberikan penghayatan-penghayatan emosional, motor intelektual dan sosial yang luas dan sekaya mungkin (Theodore Brameld, 1955: 173).
Lebih lanjut menurut Kilpatrick, kurikulum yang baik didasarkan pada prinsip; (1) peningkatan kualitas hidup anak yang sebaik-baiknya menurut tingkat perkembangan, (2) menjadikan kehidupan aktual anak ke arah perkembangan dlam suatu kehidupan yang bulat dan menyeluruh, (3) pengembangan aspek kreatif kehidupan yang merupakan tolok ukur utama bagi keberhasilan sekolah. Sehingga anak didik dapat berkembang dalam kemampuannya yang aktual untuk secara aktif memikirkan hal-hal yang baru untuk dipraktekkan dalam bertindak secara bijaksana melalui pertimbangan yang matang (William H. Kilpatrick, 1962: 76).
Melihat dari berbagai pandangan di atas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa kurikulum pendidikan seharusnya adalah lebih menekankan pada how to think atau how to do bukan what to think atau what to do, artinya lebih mendahulukan metode bukan materi. Tujuannya adalah memberikan individu kemampuan yang memungkinkannya dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang secara konstan selalu berubah. Dengan penekanannya pada aspek metodologi, kurikulum hendaknya mampu menghadapi perubahan sosial secara fleksibel, target utamanya adalah persoalan-persoalan yang sedang dihadapi saat ini, sehingga landasan bagi masa depan, masa lalu hanyalah bagian dari kontinuitas pengalaman yang menjadi sarana untuk memahami masa kini.
2. Guru/ Pendidik
Istilah “Guru” dalam bahasa Jawa sering diartikan dengan “digugu” dan “ditiru” artinya seorang guru hendaknya mampu menjadi contoh buat muridnya.
Pengertian guru dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1999: 288) diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar.
Adapun guru dalam pandangan aliran psikologi pendidikan modern adalah sebagai penasihat, pembimbing dan bukan orang yang otoriter. Yang menempatkan pendidik sebagai pembimbing adalah karena dia mempunyai pengetahuan, pengalaman yang banyak di bidang anak didik dan ia akan menjadi penasihat jika anak didik mengalami jalan buntu. Peran pendidik adalah membantu anak didik mempelajari bagaimana mereka belajar dengan diri mereka sendiri. Sehingga anak didik akan berkembang menjadi orang dewasa yang mandiri dalam lingkungan yang berubah.
Menurut Dewey, guru harus mengetahui ke arah mana anak akan berkembang, karena anak hidup dalam suatu lingkungan dimana selalu terjadi proses interaksi. Situasi-situasi yang silih berganti dan berdasarkan prinsip yang berkelanjutan ada sesuatu yang dibawa dari situasi terdahulu ke situasi sekarang dan situasi sekarang ke situasi yang akan datang. Selagi individu bergerak dari situasi ke situasi berikutnya, dunianya, lingkungannya melebar dan menyempit. Bukannya ia menemukan dirinya hidup di dunia ini. Proses berkelanjutan dalam penerapannya berarti bahwa masa depan harus selalu diperhitungkan di setiap tahap dalam proses pendidikan (John Dewey, 1999: 251-252). Guru juga harus mampu menciptakan suasana ruang kelas yang demokratis dan kondusif. Hal ini dapat terwujud manakala masing-masing individu menyadari tujuan untuknya ia bekerja dan ia melaksanakan tugasnya karena suatu semangat pribadi, karena minat dan kesetiaan terhadap sasaran tersebut (John de Santo, 1986: 289).
Dengan demikian tugas pendidik adalah membimbing aktifitas anak didik dan berusaha memberikan kemungkinan lingkungan yang terbaik untuk pelajar. Sebagai pembimbing, pendidik tidak diperbolehkan untuk menonjolkan diri, ia harus demokratis dan mempertimbangkan hak-hak alamiah secara keseluruhan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan psikologi dengan keyakinan bahwa memberikan motivasi itu lebih penting daripada hanya memberikan informasi. Pendidik dan anak didik bekerja sama dalam mengembangkan program belajar dan dalam aktualisasi potensi anak didik bagi kepemimpinan dan kemampuan lain yang ia kehendaki. Dengan demikian tugas pendidik harus selalu mengadakan penelitian atau pengamatan terhadap kemampuan-kemampuan manusia itu dan menguji kemampuan-kemampuan tersebut dalam pekerjaan praktis atau dengan kata lain manusia hendaknya mengaktualisasikan ide-idenya dalam kehidupan nyata, berfikir dan berbuat (Djumberansah Indar, 1994 :132).
3. Murid atau anak didik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1999: 601).yang dimaksudkan murid adalah orang (anak) yang sedang berguru (belajar, bersekolah).
Menurut teori pendidikan modern murid/ anak didik adalah makhluk yang mempunyai kelebihan dibanding dengan makhluk-makhluk lain, anak didik mempunyai kecerdasan sebagai potensi yang merupakan kelebihannya. Dengan sifatnya yang dinamis dan kreatif dan dengan kecerdasannya, anak didik mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan problem-problem. Sehubungan dengan ini usaha untuk meningkatkan kecerdasan adalah tugas utama dalam lapangan pendidikan (Imam Barnadib, 1997: 35).
Anak didik hendaknya tidak dipandang sebagai kesatuan jasmani rohani saja, melainkan juga manifestasinya sebagai tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan rohani, terutama kecerdasan, perlu difungsikan dalam arti anak didik berada aktif dalam memanfaatkan sepenuh-penuhnya lingkungannya. Ia perlu mendapatkan kesempatan yang cukup, untuk dengan bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung di lapangan kebudayaan (Imam Barnadib, 1997: 35).
Sekolah haruslah memelihara kebebasan berfikir, sehingga anak didik memiliki kemandirian, aktualisasi diri. Namun, pendidik tetap berkewajiban dalam meluruskan kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi, terutama dari segi metodologi berpikir (William H.Kilpatrick, 1962: 85).
Dalam pandangan teori pendidikan modern, yang penting adalah bagaimana memberdayakan potensi anak didik seoptimal mungkin, sehingga ia mampu mengatasi persoalan hidup. Bukan materi yang terpenting, karena bila pendidikan berorientasi pada materi pengetahuan, maka ia tidak akan sanggup mengikuti perubahan sosial. Pengetahuan-pengetahuan baru, akan segera muncul menggantikan pengetahuan-pengetahuan lama. Materi pelajaran hanya sebagai alat dalam mengoperasikan metode-metode berpikir yang tepat. Bila anak dilengkapi dengan kemampuan metodologi maka dengan cepat mempelajari realitas di sekitarnya, dengan demikian ia dapat beradaptasi sesuai dengan tuntutan perubahan. Hal ini sejalan dengan pandangan Alvin Toffler (1992: 358-359), bahwa sasaran utama pendidikan masa depan adalah meningkatkan “kemampuan menanggulangi (cope ability) individu, kecepatan dan efisiensi dalam beradaptasi terhadap perubahan yang terus menerus”.
Dengan demikian anak didik haruslah lebih bersifat aktif, dari pada hanya menunggu seorang pendidik memenuhi pikiran-pikiran mereka dengan informasi yang lengkap. Hal ini sejalan dengan ungkapan John Dewey bahwa anak didik pada dasarnya sangat aktif, dan persoalan pendidikan adalah persoalan bagaimana mengendalikan keaktifannya dan memberikan petunjuk kepada mereka (William H. Howick, 1980: 30).
4. Fitrah dan Lingkungan
Masalah fitrah (potensi), dalam teori pendidikan modern tidak ditemukan pembahasan yang definitif. Namun menurut John Dewey (1964) ia menyatakan bahwa, bayi lahir telah memiliki suatu pemahaman sendiri, mengingat, kesediaan, keadilan, generalitation, perhatian dan sebagainya.
Anak didik hadir di sekolah bukanlah seperti sebuah papan tulis kosong, yang padanya guru tinggal menuliskan mata pelajaran mengenai peradaban. Pada saat anak memasuli ruang sekolah, ia sebenarnya sudh sangat aktif dan persoalan pendidikan adalah bagaimana guru dapat mengendalikan dan mengarahkan aktivitas mereka.
Pada waktu anak-anak memulai pendidikan formal, menurut John Dewey (1964: 285) sebenarnya dalam diri mereka sudah ada empat dorongan asli (native impulse) yakni; dorongan untuk berkomunikasi, dorongan untuk menyelidiki dan mengungkapkan diri secara lebih baik. Keempat dorongan tersebut merupakan sumber alami, modal dasar bagi pelatihan yang padanya bergantunglah pertumbuhan aktif diri si anak. Anak membawa serta minat dan aktivitas dari rumah dan lingkungan dimana ia tinggal.
John Dewey dan tokoh-tokoh pendidikan modern lainnya, sebetulnya sangat respek terhadap potensi individu untuk berkembang, tapi di sisi lain mereka juga percaya bahwa pendidikan merupakan bagian yang integral dengan masyarakat. Oleh karena itu, Hilda Taba (1962) mengkategorikan mereka dalam dua aliran, yakni pertama bergerak melalui pendekatan psikologis dengan orientasi pengembangan individu, dan yang kedua, bergerak dengan pendekatan sosiologis dengan orientasi rekontruksi sosial.
Dalam hal ini Dewey juga berpendapat, pada dasarnya mereka tidak menghendaki dikotomi antara individu dan masyarakat dalam menentukan orientasi program pendidikan. Pandangan dualisme, pertanda bahwa masyarakat modern belum cukup termodernkan, hal ini pula yang mengakibatkan dikotomi antara teori dan praktek, filsafat sosial dan aktivitas sosial, moral dan sains serta individu dan masyarakat. Oleh karena itu anak didik harus selalu dilatih untuk mengembangkan kegiatannya sendiri yang ada hubungannya dengan masyarakat (Y.B. Suparlan, 1984: 84).
Sekolah adalah merupakan lembaga masyarakat, bukab sesuatu yang terpisah, tetapi termasuk di dalam pengalaman-pengalaman sosial dan memberikan sumbangan terhadap aktifitas yang berjalan terus menerus dengan masyarakat sebagai pendukungnya. Dan salah satu tugasnya adalah mengembangkan di dalam diri pemuda suatu kecenderungan untuk dapat menyadari [perubahan-perubahan secara cerdik di lingkungan masyarakat. Pendekatan intelegensi kritis harus dikembangkan agar sekolah-sekolah memberikan sumbangan yang maksimal. Program sekolah yang baik akan mengenalkan hubungan yang erat antara sekolah dan masyarakat dan mengusahakan keduanya untuk merefleksikan norma-norma masyarakat dan untuk mengarahkan masa depannya serta kebahagiaan semua umat manusia.
Oleh karena itu, lembaga pendidikan haruslah dipandang sebagai bagian dari kehidupan secara keseluruhan. Sekolah, dengan demikian, terkait dengan lingkungan sekitarnya, seperti rumah tangga, dunia bisnis dan industri, serta lingkungan alam (geografis). Selanjutnya, para pendidik harus memanfaatkan lingkungan fisik dan sosial tersebut sehingga sari patinya disumbangkan bagi pembentukan pengalaman yang berharga bagi anak (Omi Intan Naomi, 1999: 249).
Dengan demikian, selain kemajuan (progres), dalam pandangan para tokoh pendidikan modern, lingkungan juga mendapatkan perhatian yang cukup serius. Lingkungan memiliki tiga fungsi yang sangat penting: Pertama, melakukan penyederhanaan dan pengaturan unsur-unsur sosial yang bermanfaat bagi perkembangan anak didik, artinya melakukan penyederhanaan dan pengaturan unsur-unsur sosial yang komplek dan mengambil faktor-faktor yang fundamental dan dapat merangsang perkembangan anak didik. Kedua, melakukan purifikasi dan idealisasi pola-pola kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Artinya lingkungan sekolah sedapat mungkin menghapus atau paling tidak meminimalkan pola kebiasaan yang baik yang ada dalam kehidupan masyarakat. Ketiga, menciptakan keseimbangan yang lebih luas antara berbagai elemen yang ada dalam lingkungan sosial, artinya, karakteristik masing-masing individu, latar belakang budaya, ras, agama dan sebagainya, hendaknya dapat dikompromikan secara demokratis. Lingkungan sekolah memupuk sikap toleran yang kooperatif antara individu, memahami pluralitas sebagai realitas yang tidak dapat dipungkiri dalam suatu masyarakat modern (John Dewey, 1964: 6-8).
5. Teknik dan Proses Belajar
Pada dasarnya proses pendidikan menyangkut dua segi, yaitu Psikologi dan Sosiologi. Dari sudut psikologi, pendidikan harus mampu mengetahui tenaga atau daya yang ada pada anak didik dan harus dikembangkan keberadaannya. Dari segi sosiologi, pendidikan merupakan sebuah kegiatan yang tidak dapat lepas dengan lingkungan masyarakat, karena antara sekolah dan masyarakat selalu berdampingan keberadaannya. Pendidikan juga merupakan sarana pembaharuan dalam masyarakat, dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang baik menjadi lebih baik dan lain-lain (Y.B. Suparlan, 1984:82-84).
Dalam kaitannya dengan teknik dan proses belajar, penulis akan lebih menekankan pembahasannya pada aspek psikologis. Dalam hal ini John Dewey membagi perkembangan usia anak didik kedalam tiga fase. Pertama, fase bermain, yaitu usia empat sampai delapan tahun. Pada periode ini ditandai dengan hubungan personal dan sosial secara langsung. Anak mulai berkembang dari lingkungan rumah tangga kepada kehidupan sosial di sekitarnya. Anak belum bisa membedakan secara jelas yang terbaik baginya dan belum terbebani masalah apapun. Pada akhir periode ini, anak diajari membaca, menulis dan geografis (misalnya lingkungan tempat tinggalnya). Kedua, ketika anak berusia delapan hingga dua belas tahun, periode ini ditandai dengan perhatian spontan terhadap sesuatu. Anak dalam usia ini banyak mempertanyakan hal-hal di sekitarnya, mereka juga sudah bisa diajari keterampilan dasar karena perkembangan inderanya sudah bersifat permanent. Ketiga, ketika anak berusia dua belas tahun keatas, fase ini ditandai dengan adanya perhatian reflektif terhadap sesuatu, pada periode ini mereka sudah bisa bereksperimen dengan mencari maslah, mengidentifikasikan dan mencari solusinya (T.W. More, 1974: 43).
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa pada periode awal, anak belum memiliki kemampuan untuk menghubungkan pengalaman aktif dengan pengalaman pasif, kedua pengalaman tersebut masih terpenggal-penggal. Sehingga pada masa ini mereka belum mampu mengambil pelajaran secara langsung tanpa arahan dari orang dewasa. Dalam proses interaksi dengan lingkungan, mereka cenderung memberi respon spontan tanpa pertimbangan rasio, terutama dalam usia empat sampai lima tahun. Oleh karena itu, dibutuhkan perhatian khusus dari orang dewasa dalam memberikan stimulus yang tepat. Pengalaman belajar yang diberikan dalam usia ini biasanya dalam bentuk permainan yang dapat merangsang kreatifitas anak didik, sedangkan pelajaran membaca, menulis, dasar-dasar geografis pada usia delapan tahun.
Pada usia delapan hingga dua belas tahun, pola pikir anak mulai berkembang. Oleh karena itu, seorang pendidik mengarahkan mereka dalam mengaplikasikan daya tersebut kedalam pengalaman, dalam hal ini perlu memperkenalkan mereka langkah-langkah dalam proses berpikir. Anak yang masih berusia delapan hingga dua belas tahun, permasalahan yang diberikan tidaklah bersifat abstrak, melainkan berangkat dari hal-hal yang kongkrit dalam kehidupan sehari-hari, karena pola pikir anak pada usia ini belum bisa menangkap hal-hal yang abstrak.
Pada tingkat usia dua belas tahun keatas, daya pikir anak bisa diterapkan dalam menyelesaikan masalah yang lebih kompleks, misalnya; perbengkelan, pertukangan, tekstil (sebagaimana dipraktekkan pada Laboratory School Dewey). Bahkan, pada periode ini kemampuan reflektif seseorang mulai meningkat, maka langkah-langkah tersebut dapat ditemukan dalam menemukan solusi alternatif terhadap masalah yang dihadapinya (John Dewey, 1964: 139-151).
Dengan demikian yang terpenting dalam pendidikan menurut ahli pendidikan modern adalah mengajarkan cara belajar yang tepat, sehingga seseorang dapat belajar setiap saat dari realitas secara mandiri, baik di dalam maupun di luar kelas, pada masa sedang atau setelah menyelesaikan pendidikan formal. Sehingga dengan cara ini sekolah akan melahirkan individu-individu yang intelegensif, kreatif dan inovatif yang pada akhirnya dapat melakukan transformasi budaya ke arah yang lebih baik dari masyarakat yang progressif.
6. Belajar Seumur Hidup
Dewasa ini para ahli pendidikan di seluruh dunia dalam pembahasan yang diadakan dibawah pengelolaan PBB telah mencapai suatu persetujuan dalam menelurkan konsep baru tentang pendidikan seumur hidup (Hasan Langgulung, 1989: 263).
Konsep ini sudah diterima oleh masyarakat luas, dan akan semakin berkembang dan semakin relevan oleh revolusi informasi yang sedang dan akan terjadi di seluruh dunia (H.A.R. Tilaar, 1998: 132). Noeng Muhadjir (1993) dalam hal ini menggunakan istilah “No Limits to Study”, yang setidaknya mengandung tiga makna; pengembangan optimal kemampuan manusia, pengembangan optimal kreasi wahana kehidupan manusia dan pengembangan optimal kesejahteraan manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk ciptaan Tuhan.
Para ahli pendidikan modern, dalam hal ini memandang bahwa belajar sesungguhnya bukan semata-mata terjadi di dalam sekolah, belajar terjadi dalam semua kesempatan dan tempat, jadi termasuk di dalam masyarakat. Justru Proses edukatif harus mampu mengalahkan pengaruh-pengaruh buruk yang ada dalam masyarakat dengan jalan mengimbangi kondisi masyarakat dengan kondisi-kondisi edukatif (living is learning).
Dengan demikian belajar menurut mereka bukan saja berlangsung disekolah, tetapi kapan saja dan dimana saja, baik pada pendidikan formal, informal, maupun non formal.

3 komentar: