Jumat, 03 April 2009

Keberhasilan Belajar Menurut Al-Zarnuji

KONSEP KEBERHASILAN BELAJAR MENURUT
PERSPEKTIF AL-ZARNŪJI

A. KEBERHASILAN BELAJAR
Untuk mendefinisikan keberhasilan belajar, pasti tidak lepas dari pembahasan mengenai belajar itu sendiri. Karena berbicara tentang keberhasilan belajar, berarti membicarakan perolehan atau hasil dari kegiatan belajar.
Di muka telah dikemukakan, banyak ahli membahas dan menghasilkan berbagai teori tentang belajar. Pandangan belajar menurut ahli tertentu akan menentukan bagaimana seharusnya “menciptakan” belajar itu sendiri, dan apa yang diinginkan dari kegiatan belajar terumuskan secara jelas dari teori yang mereka hasilkan tersebut.
Dari uraian dalam bab dua sebagai landasan teori dalam penulisan skripsi ini, disana dinyatakan bahwa tujuan dari belajar adalah untuk memperoleh perubahan dan kemampuan pada tiga ranah, yakni kognitif, afektif dan psikomotor.
Oleh karenanya, menurut mereka keberhasilan belajar dapat didefinisikan sebagai “terwujudnya hasil dari kegiatan belajar, yang berupa perubahan dan kemampuan yang signifikan dalam tiga ranah yakni, kognitif yang menekankan pada pengetahuan, afektif yang menekankan pada pengembangan sikap dan perilaku serta psikomotor yang menekankan pada pengembangan gerak otot/ tubuh (keterampilan)”.
Erat kaitannya dengan hal tersebut, dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim al-Zarnūji tidak menjelaskan secara rinci pengertian keberhasilan belajar, menurutnya seorang yang berhasil dalam belajarnya adalah mereka yang memperoleh ilmu serta mampu memetik kemanfaatan serta buah dari ilmu tersebut, yakni mengamalkan dan menyiarkannya (Hamam Nashirudin, 1963: 1).
Definisi keberhasilan belajar menurut al-Zarnūji sepintas memang kelihatan sederhana, namun apabila dicermati lebih mendalam apa yang diungkapkan oleh al-Zarnūji tersebut ternyata lebih sulit untuk diwujudkan dibandingkan dengan apa yang dirumuskan oleh para ahli filsafat pendidikan diatas.
Hal ini dikarenakan konsep belajar yang dirumuskan oleh al-Zarnūji, tidak sesederhana seperti yang dirumuskan oleh para ahli filsafat pendidikan itu. Menurut al-Zarnūji, belajar sebagai sarana untuk memperoleh ilmu, haruslah melalui jalan dan persyaratan yang benar. Karena jalan yang benar dan persyaratan yang terpenuhi dalam belajar adalah kunci untuk mencapai keberhasilan belajar. Maka dari itu dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim al-Zarnūji lebih memfokuskan pembahasannya pada jalan/ persyaratan (metode) yang harus ditempuh guna memperoleh keberhasilan belajar dari pada membahas devinisi keberhasilan belajar itu sendiri.
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai keberhasilan belajar menurut perspektif al-Zarnūji, di bawah ini akan penulis uraikan mengenai konsep belajar menurut al-Zarnūji sehingga dari pemahaman konsep belajar ini dapat diketahui bagaimana keberhasilan belajar tersebut dapat dicapai.

B. PANDANGAN BELAJAR MENURUT AL-ZARNUJI
a. Pengertian belajar menurut al-Zarnūji
Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, tidak dijelaskan tentang arti belajar secara definitif, tetapi beliau hanya menjelaskan, bahwa belajar (menuntut ilmu) merupakan kewajiban yang telah disyari’atkan oleh agama, baik melalui al-Qur’an ataupun al-Hadits, melalui proses pengajaran yang bersifat Ilahiyah atau bersifat Basyariyah.
Belajar menurut al-Zarnūji bukanlah seperti apa yang dirumuskan oleh para ahli psikologi pendidikan yang menyatakan bahwa belajar adalah proses usaha untuk memperoleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Dan bukan pula seperti yang dirumuskan oleh H.M. Arifin yang menyatakan bahwa belajar adalah kegiatan dalam menerima, menanggapi serta menganalisa bahan yang disajikan oleh pengajar sehingga memperoleh kemampuan menguasai bahan pelajaran. Juga tidak sesederhana seperti yang dirumuskan oleh Wolfok dan Nicolich yang mengatakan bahwa belajar adalah perubahan internal pada seseorang dalam bentuk formulasi asosiasi baru, atau potensial baru.
Dikatakan bahwa belajar menurut beliau adalah bernilai ibadah dan menghantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan duniawi-ukhrawi, karenanya belajar menurut al-Zarnūji harus diniati untuk mencari ridlo Alloh, kebahagiaan akherat, mengembangkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat Akal dan menghilangkan kebodohan (al-Zarnūji, ttp: 10).
Disinilah letak perbedaan yang mendasar antara konsep belajar yang dirumuskan oleh al-Zarnūji dengan para ahli psikologi pendidikan tersebut. Belajar menurut al-Zarnūji bukan hanya menekankan pada dimensi duniawi semata sebagai tujuannya, tetapi juga mencakup dimensi ukhrowi.
Dimensi duniawi yang dimaksud adalah sejalan dengan konsep pemikiran para ahli pendidikan, yakni menekankan bahwa proses belajar mengajar hendaknya mampu menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan pada tiga ranah yang menjadi tujuan pendidikan/ pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Adapun dimensi ukhrowinya, al-Zarnūji menekankan agar belajar yang merupakan suatu proses untuk mendapatkan ilmu hendaknya diniati untuk beribadah, yakni sebagai manifestasi perwujudan rasa syukur manusia sebagai seorang hamba kepada Alloh SWT yang telah mengaruniakan akal kepadanya. Terlebih hasil dari proses belajar mengajar yang berupa ilmu (kemampuan dalam tiga ranah tersebut), hendaknya benar-benar dapat diamalkan dan dimanfaatkan sebaik mungkin. Karena buah dari ilmu adalah amal. Pengamalan serta pemanfaatan ilmu itu hendaknya dalam koridor keridloan Alloh, untuk mengembangkan dan melestarikan agama/ Islam dan menghilangkan kebodohan, baik pada dirinya maupun orang lain. Inilah buah dari ilmu yang menurut al-Zarnūji akan dapat menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat kelak.
Dan menurut hemat penulis, disinilah letak kelebihan pandangan belajar al-Zarnūji. Karena konsep yang demikian ini tidak dimiliki oleh para ahli psikologi pendidikan lainnya.
Jika kemudian muncul persepsi, bahkan tudingan oleh sementara orang, yang menyatakan kalau pemikiran/ pandangan al-Zarnūji tersebut mengakibatkan terjadinya dikotomi ilmu. Penulis rasa hal tersebut tidak beralasan. Dalam lembaran kitab Ta’lim al-Muta’allim memang dapat kita jumpai pandangan al-Zarnūji mengenai kewajiban belajar, dimana disana ia membagi hukum mempelajari ilmu. Ada ilmu yang hukumnya wajib ‘ain untuk dipelajari, wajib kifayah, haram dan sebagainya.
Namun kesemuanya itu apabila dipahami secara integral, menurut hemat penulis, tidak ada didalamnya upaya untuk mendikotomikan ilmu. Untuk lebih jelasnya dibawah ini akan penulis uraikan mengenai kewajiban belajar dalam perspektif al-Zarnūji.
1. Kewajiban Belajar
Untuk menegaskan bahwa belajar pada hakikatnya adalah wajib bagi setiap muslim, al-Zarnūji mengutip sebuah hadits Nabi (Ibny Majah, 1371/1952, Juz I: 81) yang berbunyi sebagai berikut :


Artinya : “Menuntut ilmu adalah merupakan kewajiban bagi muslim laki-laki dan perempuan”.

Hadits tersebut di atas, berkaitan erat dengan beberapa ayat pertama yang diwahyukan oleh Alloh SWT kepada Nabi Muhammad SAW, yang menandaskan pentingnya membaca, menulis dan belajar mengajar, yaitu berbunyi :



Artinya : Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-Mu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah ang paling pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui (Qs. Al-Alaq : 1-5).


Sebagian ahli tafsir berpendapat, al-Rāzi misalnya, yang dimaksud dengan “Iqra’” dalam ayat pertama berarti “belajar”, dan “Iqra’” dalam ayat kedua berarti “mengajar”. Atau yang pertama berarti “bacalah dalam shalatmu” dan yang kedua berarti “bacalah di luar shalatmu” (Aisyah binti al-Syāti, 1968, III: 20)
Imam Zamakhsyari berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan “qalam” adalah “tulisan”, karena tanpa tulisan ilmu itu tidak bisa dikodifikasikan, seandainya tidak ada tulisan maka tidaklah tegas persoalan agama dan dunia (Aisyah binti al-Syāti, 1968, III: 23).
Sedang menurut Thanthawi Jauhari (1350 H, VII : 217) ayat yang pertama kali turun sangat menakjubkan, karena nabi adalah seorang yang “Ummi”, sementara ayat yang pertama kali turun menyangkut masalah “pengajaran” dan “pena” , dan untuk memelihara ilmu, nabi menyuruh para sahabat untuk mencatat dan menyebarluaskan kepada yang lain.
Kalau ditinjau dari segi psikologi, Menurut Hasan Langgulung (1983 : 3) perintah “membaca” dalam ayat yang pertama kali turun, melibatkan proses mental yang tinggi yaitu, proses pengenalan (cognition) , ingatan (memory), pengamatan (Reasoning), dan daya kreasi (creativity).
Namun, penulis memandang bahwa ayat dan hadits di atas, menunjukkan kewajiban kepada manusia (umat Islam khususnya) untuk menuntut ilmu.
Persoalan ilmu mana sebenarnya yang dimaksud, mengandung arti bahwa ilmu apa saja ang harus dipelajari, apakah semua ilmu ataukah sebagian, apakah secara umum sifatnya atau secara khusus, dengan demikian menuntut keterangan hukum mempelajarinya. Kata “wajib” pada hadits di atas, merupakan istilah syari’at yang menunjukkan adanya keharusan untuk melaksanakannya seperti; shalat, puasa dan lain-lain, tetapi kalau dilihat dari segi hukumnya, kewajiban itu bermacam-macam. Begitu juga kata wajib dalam menuntut ilmu. Dalam hal ini al-Zarnūji membagi hukum menuntut ilmu ke dalam tiga bagian sebagai berikut :
a. Fardlu ‘Ain.
Ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap pribadi muslim adalah ilmu yang berkaitan langsung dengan kebutuhan secara individual, baik dalam konteks ibadah maupun muamalah, yang diistilahkan dengan Ilmu al-Hal. ( al-Zarnūji, 1986 : 1)
Pernyataan ini sama dengan pendapat al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulum al-Dien Juz I (tt : 25), beliau menyatakan bahwa “Ilmu pengetahuan yang hukum mempelajarinya fardlu ‘ain (dibebankan pada setiap orang) adalah ilmu agama dan semacamnya. Beliau mendefinisikan ilmu yang fardlu ‘ain adalah ilmu tentang tata cara melakukan perbuatan wajib dan kapan saja waktunya ia harus mengetahui ilmu yang fardlu ‘ain.”
Sedang yang dimaksud dengan Ilmu al-Hal adalah ilmu yang berkaitan dengan sesuatu yang sedang dialami oleh seseorang seperti; shalat, puasa, haji, zakat dan lain sebagainya. Selain itu, juga ilmu yang berkaitan dengan gerak hati (ahwal al-qalb) seperti; tawakkal, sabar, percaya pada qadla dan qadar-Nya, karena permasalahan ini pasti dialami orang setiap waktu dan keadaan (H.A Mukti Ali, 1991: 17).
Menurut beliau, shalat harus (wajib) dikerjakan bagi setiap muslim dan karenanya wajib bagi pribadi muslim untuk memahami ihwal pekerjaan shalat itu, begitu pula dalam masalah zakat, puasa dan haji. Ilmu yang menjadi kebutuhan primer dalam pelaksanaan tugas-tugas peribadatan dikategorikan ke dalam Ilmu al-Hal (Afandi Muhtar, 1995 : 23).
Ilmu ahwal al-qalb, termasuk ilmu yang difardlukan mempelajarinya, dalam hal ini beliau merujuk pendapat Muhammad bin Hasan (Affandi Muhtar, 1995: 23) tentang kewajiban zuhud dengan pengertian mencegah perbuatan subhat dan makruh dalam setiap lapangan kehidupan. Al-Zarnūji ingin menempatkan zuhud sebagai sifat yang mutlak, inheren dalam bidang profesi apapun. Karena itu seperti juga tawakkal, inabah, khasyah dan ridla, sikap zuhud termasuk dalam kategori kebutuhan primer yang menyangkut hati nurani, dan mempelajarinya merupakan keharusan bagi setiap pribadi muslim.
Perhatiannya terhadap eksistensi diri manusia, lebih nampak ketika ia menghubungkan ilmu dengan etika kehidupan. Ilmu sangat penting untuk menumbuhkan akhlak yang terpuji sekaligus dapat menghindarkan dari akhlak yang tercela. Sejalan dengan kewajiban memelihara tingkah laku hidup, al-Zarnūji menekankan untuk mempelajari ilmu akhlak, sehingga dapat membedakan antara perilaku yang baik dan yang buruk, dan hukum mempelajarinya adalah wajib pula (al-Zarnūji, 1968: 6-7).
b. Fardlu Kifayah
Belajar tentang ilmu yang hanya sekali-kali terjadi, beliau mengatakan bahwa hal itu dinamakan fardu kifayah. Apabila dalam suatu lingkungan sudah ada yang menguasai ilmu itu, maka yang lain diperbolehkan untuk tidak mempelajarinya, tetapi apabila dalam suatu lingkungan masyarakat tidak ada orang yang mengetahuinya, maka semua penduduk menanggung dosanya (H.A. Mukti Ali, 1991: 21).
Dalam hal ini al-Zarnūji memperlihatkan hubungan ilmu dengan kebutuhan yang bersifat temporal dalam pengertian individual, tetapi bersifat vital dalam konteks kemasyarakatan (kolektif). Bersifat temporal karena kebutuhannya dirasakan pada saat-saat tertentu, sementara bersifat vital, karena bagaimanapun ketika kebutuhan itu dirasakan usaha pemenuhannya adalah suatu keharusan.
Berkaitan dengan hal tersebut al-Zarnūji menggambarkannya secara praktis dengan memperlihatkan kebutuhan “makan” dan kebutuhan “pengobatan”. Kebutuhan pertama dikategorikan kebutuhan primer yang harus dipenuhi karena memang dirasakan oleh setiap muslim dalam situasi apapun. Sementara kebutuhan yang kedua harus dipenuhi oleh pribadi tertentu yang menanggung sakit. Dengan demikian, al-Zarnūji menegaskan bahwa mempelajari ilmu yang berkaitan dengan kebutuhan temporal adalah kewajiban muslim secara kolektif tidak secara individual (Affandi Mukhtar, 1995: 69).
Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Imam al-Ghazali (Zainudin, 1991: 35) sebagai berikut :
“Adapun yang termasuk fardlu kifayah adalah setiap ilmu pengetahuan tidak dapat dikesampingkan dalam menegakkan kesejahteraan dunia, … yaitu ilmu pengetahuan apabila suatu masyarakat tidak ada yang mengembangkan ilmu-ilmu tersebut, maka masyarakat itu akan mengalami kesulitan-kesulitan dan kekacauan dalam kehidupannya”.

c. Haram/ tercela
Menurut al-Zarnūji ilmu yang haram dipelajari adalah ilmu nujum (Astrologi) karena ia membawa bahaya dan tidak ada manfaat sama sekali dan menyebabkan orang lari dari qodlo dan qodar Alloh SWT. Adapun astronomi untuk mengetahui kiblat, waktu sholat dan sebagainya itu boleh (H.A. Mukti Ali, 1995: 21).
Kontroversi tentang kegunaan ilmu astronomi dan astrologi pada abad pertengahan memang berlangsung serius. Ilmu astronomi dalam pengertian studi scientific, tentang perbintangan agaknya sepakat perlu dipelajari. Sedang astrologi dalam pengertian pengetahuan spekulatif yang mengandalkan perhitungan diluar akal oleh al-Zarnūji dilarang untuk dipelajari. Ada juga sekelompok ilmuwan yang membagi ilmu nujum kedalam dua kelompok yaitu ilmu nujum Hisaby (ilmu Falaq) ilmu ini diperbolehkan untuk mempelajarinya, ilmu nujum Istidhaly ini diharamkan karena manusia percaya pada petunjuk bintang. Hal ini akan mengakibatkan kekufuran kepada Alloh SWT (Fathiyah Hasan sulaiman, 1993, 24-25).
Namun menurut hemat penulis, sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka diskursus untuk mengembangkan ilmu hisab sangat diperlukan. Untuk pengembangan tersebut diperlukan pemikiran yang mendalam dan filosofis tentang dasar yang dijadikan pedoman dalam hisab seperti, arah kiblat, awal waktu sholat, awal bulan dan gerhana. Tentunya hal ini dilakukan dengan sikap more democratic.
Selanjutnya orang yang mencari ilmu, hendaknya memilih ilmu atiq (ilmu-ilmu kuno) yaitu, ilmu dari nabi Muhammad SAW, para shahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’ien, bukan ilmu baru seperti ilmu mantiq dan filsafat, karena ilmu ini timbul setelah hilangnya ulama-ulama besar.
Menurut hemat penulis, alasan al-Zarnūji melarang mempelajari ilmu filsafat dimungkinkan sama dengan alasan Imam al-Ghazali yaitu, karena terdorong berkecamuknya pikiran bebas waktu itu yang membuat orang lari meninggalkan ibadat. Meskipun ia sendiri seorang pemikir yang sistematis dan rasionalis yang pada intinya menggabungkan filsafat dan ilmu kalam, namun ia dengan jelas melihat keterbatasan ilmu kalam itu, dan meyakini bahwa agama haruslah berupa pendekatan diri pribadi kepada Tuhan dalam suatu kehidupan zuhud dan sufi. (Nur Kholis Madjid, 1994: 34).

C. METODE PEMBELAJARAN
Berkenaan dengan masalah konsep keberhasilan belajar, kitab Ta’lim al-Muta’allim, menarik pengkajiannya bukan hanya dari sudut sosio kultural, tetapi juga dari sudut metode pembelajaran, yakni bagaimana cara/ jalan yang harus dilakukan agar dapat memperoleh keberhasilan dalam Proses Belajar Mengajar. Dalam hal ini penulis akan mengkonsentrasikan kajiannya pada metode pembelajaran sebagai berikut :

1. Kurikulum dan mata pelajaran
Kurikulum merupakan faktor yang sangat importan dalam proses kependidikan dalam suatu lembaga pendidikan. Mata pelajaran yang harus diketahui dan dihayati oleh anak didik harus ditetapkan dalam kurikulum. Materi pelajaran yang akan disajikan kepada anak didik, harus dijabarkan terlebih dahulu dalam kurikulum. Dengan demikian, dalam kurikulum tergambar jelas secara berencana bagaimana dan apa saja yang harus terjadi dalam proses belajar mengajar yang dilakukan oleh pendidik dan anak didik (HM. Arifin, 1991: 84).
Dalam kaitannya dengan konsep al-Zarnūji tentang kurikulum, tidak dijelaskan secara rinci, hanya dalam bagian kitab Ta’lim al-Muta’allim dijelaskan tentang pelajaran yang harus dipelajari dan urutan ilmu yang dipelajari. Secara Islamic Filosofis, beliau memberikan uraian-uraian mata pelajaran sebagai kandungan dalam kurikulum seperti : panjang pendeknya pelajaran, pelajaran yang harus didahulukan dan diakhirkan, pelajaran yang wajib dan haram dipelajari serta masih banyak lagi yang ada kaitannya dengan kandungan kurikulum tersebut.
Mengenai ukuran materi pelajaran yang dipelajari, hendaknya mengambil pelajaran baru yang dapat dihafal dan dipelajari setelah diajarkan oleh guru. Demikian pula untuk setiap harinya ditambah sedikit demi sedikit sehingga pada suatu ketika menjadi kebiasaan. Bahkan ukuran pelajaran hendaknya yang susah dan gampangnya seimbang dengan kemampuan berfikir anak didik. Kalau sekiranya pelajaran-pelajaran yang diberikan sukar dan diatas kemampuannya, anak akan sukar untuk memahaminya, hal ini akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan kepada diri sendiri, karena ia tidak memperoleh santapan jiwa yang sesuai buat pertumbuhan akalnya dan buat kemajuannya (Al-Zarnuji, ttp: 52).
Pendapat al-Zarnūji di atas sejalan dengan pendapat filosof-filosof pendidikan modern yang menyerukan pembawaan anak didik diperhatikan dan dijadikan sebagai dasar dalam mengajar, mereka menyatakan bahwa suksesnya seorang anak dalam suatu pekerjaan akan membantu suksesnya seorang anak dalam pekerjaan yang lain (M. Athiyah al-Abrasyi, 1987: 190).
Namun demikian disinggung disini bahwa untuk menjalankan kurikulum, secara praktisi al-Zarnūji (ttp: 85) memberi hal-hal yang harus dikerjakan bersamaan dengan pelaksanaan kurikulum tersebut seperti sifat wara’ dalam belajar, waktu pelaksanaan belajar mengajar, ukuran pelajaran dan sebagainya.
Kurikulum dalam lembaga pendidikan biasanya didasarkan atas prinsip-prinsip yang demikian tegas, aktivitas dan kandungannya harus dipolakan sedemikian rupa sehingga memberi kemungkinan bagi para pelajar mencapai hasil yang diharapkan.
Berkenaan dengan ruang lingkup, apakah anak didik diwajibkan mengetahui ilmu pengetahuan yang sebanyak-banyaknya atau cukup hal-hal yang penting saja yang perlu diketahui, disinilah sering terjadi konflik antara para penyusun kurikulum. Di satu pihak ingin diberikan yang luas agar mempunyai cakrawala yang luas, tetapi di sisi lain waktu yang tidak mengijinkan. Ada juga yang berpendapat bukan yang banyak itu yang baik, tetapi cara pemanfaatan dan penggunaan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh.
Menanggapi hal ini al-Zarnūji (ttp: 3-4) berpendapat, “bukan masalah banyak sedikitnya”, tetapi yang lebih penting adalah mana yang lebih mendesak dibutuhkan pada waktu tertentu. Ini berarti, al-Zarnūji memiliki pandangan bahwa kurikulum (ilmu atau bahan) yang dipelajari harus relevan dengan masanya dan kebutuhannya disamping mempelajari yang lain. Adapun mengenai banyak sedikitnya bahan yang dipelajari, haruslah disesuaikan dengan kemampuan anak didik sebagai penerima ilmu. Oleh karenanya, mula-mula bahan–bahan yang diberikan adalah bahan-bahan yang mudah terlebih dahulu baru naik ke tingkat yang lebih sukar. Ini menunjukkan bahwa materi yang diberikan harus disesuaikan dengan kematangan dan usia anak didik.
Konsep al-Zarnūji tentang ilmu-ilmu yang harus dipelajari dari tingkat yang paling tinggi sampai tingkat yang paling rendah, menunjukkan adanya orientasi Religiusitas. Hal ini barangkali yang mendasari konsep beliau dalam masalah tasawuf, serta menjadi dasar dan pijakan dalam menentukan kajian (ilmu) apa yang harus dipelajari.
Dengan berorientasi pada pandangan al-Zarnūji ini kiranya dapat diklasterisasikan ilmu yang dipelajari dari sudut pandang kegunaannya. Ilmu yang dimaksud disini adalah ilmu agama yang berorientasi menurut kegunaan sesuai dengan masanya. Sedangkan ilmu kedokteran dan ilmu falaq dalam prakteknya dilakukan demi kemaslahatan umum. Disamping ilmu-ilmu yang disebutkan di atas, ada ilmu-ilmu yang dilarang mempelajarinya karena dianggap membahayakan seperti ilmu mantiq, filsafat dan ilmu jadl (Muhammad Abdul Qodir Ahmad, 1986 : 90-99).
Meskipun secara gambalang al-Zarnūji tidak merinci ilmu mana yang harus secara squence diperlukan untuk tingkat rendah, menengah dan tinggi, tetapi secara konsekwen al-Zarnūji memberikan pandangannya tentang ilmu yang patut dipelajari oleh pelajar.
Sebagaimana pandangan al-Zarnūji tentang ilmu, bidang ilmu pengetahuan yang termasuk dalam isi kurikulum, biasanya dipandang sebagai bidang-bidang pengetahuan yang berdiri sendiri atau sebagai kesatuan disiplin ilmu pengetahuan ini merupakan bagian integral dalam kurikulum pendidikan Islam.
Sedangkan berkenaan dengan pelajaran yang harus diutamakan yaitu dua mata pelajaran, Fiqih dan Kedokteran, dengan alasan pelajaran Fiqih dalam perspektif pendidikan modern dikategorikan sebagaimana pelajaran pokok, adapun mata pelajaran kedokteran dikategorikan bersifat minor.
2. Guru atau Pendidik
Para ilmuwan, sastrawan dan filosof menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan, bahkan mereka memberikan nilai yang terhormat dan menempatkan posisi strategis bagi para pelaku pendidikan. Al Ghozali (M. Athiyah al-Abrasyi, 1996) misalnya, ia berkata: “Siapa yang memperoleh ilmu pengetahuan dan ia mengambil daya guna untuk kepentingan dirinya, kemudian mentransformasikannya untuk orang lain, maka orang itu ibarat matahari yang bersinar untuk dirinya dan untuk orang lain”.
Para ahli pendidikan Islam dalam masalah kaitannya dengan pendidikan ini, mengutamakan masalah budi perangai yang seharusnya dipunyai oleh para guru.
Islam adalah agama akhlak, dimana diutusnya nabi terakhir adalah untuk menyempurnakan akhlak. Untuk itu para guru seharusnyalah menjadi pembina akhlak. Sehingga sudah selayaknya dia lebih dahulu harus mempunyai akhlak yang mulia. Karena dalam proses pendidikan terjadi “transfer of Value” bukan hanya “transfer of knowledge” semata, maka seorang guru hendaknya menjadi suri tauladan, sesuai dengan ungkapan “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” (Mastuhu, 1994: 10).
Al-Zarnūji dalam masalah pendidikan, khususnya dalam memilih guru, ia mengemukakan beberapa sifat guru yang baik yang perlu diperhatikan, yaitu : mempunyai kelebihan ilmu (menguasai ilmu), wara’ (kesanggupan untuk menjaga diri dari perbuatan yang terlarang), berumur (lebih tua usianya).
Namun tampaknya untuk masa sekarang, hal demikian itu agak kesulitan untuk diaplikasikan, mengingat dalam lembaga pendidikan formal tentu sudah ada kebijakan lembaga tersebut dalam pengaturan jadwal guru sehingga sulit sekali seorang siswa akan memilih mana guru yang dianggap mempunyai sifat sebagaimana pandangan al-Zarnūji.
Sebagai solusi dari hal tersebut, tentunya lembaga pendidikanlah yang harus benar-benar jeli didalam memilih guru agar eksistensisnya baik secara kualitas pribadinya maupun kapasitas keilmuannya tidak diragukan siswa dikemudian hari.
Selain itu beliau juga menambahkan dengan mengutip pernyataan Imam Abu Hanifah ketika beliau mendapatkan Hammad bin Sulaiman, Abu Hanifah berkata : “Aku dapati dia (Hammad) sudah tua, berwibawa, santun dan penyabar. Maka menetaplah aku disampingnya dan aku pun tumbuh dan berkembang” (A. Mudjab Mahali, 1992: 37).
Dari ungkapan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sifat-sifat yang merupakan persyaratan bagi guru ada enam yaitu : berilmu yang memadai, wara’, berumur, berwibawa, santun dan penyabar (al-Zarnūji, ttp: 19). Disinilah letak kelebihan al-Zarnūji dalam hal memilih guru dibanding dengan para filosof pendidikan modern yang hanya mensyaratkan seorang guru harus mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih dan menguasai sesuai bidangnya masing-masing.
Adapun mengenai peranan guru dalam proses belajar mengajar, pandangan al-Zarnūji terkait dengan pandangannya terhadap bidang studi, yakni kecenderungan agamawi yang bersifat sufi. Dalam hal ini guru berperan membersihkan, mengarahkan dan mengiringi hati nurani siswa untuk mendekatkan diri kepada Alloh dan mencari Ridla-Nya.
Sedang kecenderungan yang kedua, pandangan al-Zarnūji senada dengan para filosof pendidikan modern, yakni pragmatik. Maksudnya peran guru dalam proses belajar mengajar hanyalah sebagai pembimbing dan penasehat bagi peserta didik. Guru berperan menanamkan nilai baik buruknya ilmu pengetahuan ditinjau dari segi kegunaannya, baik untuk kepentingan dunia maupun akhirat. Hal ini bisa dicontohkan dengan diwajibkan dan diharamkannya ilmu. Karena tanpa adanya guru, siswa akan “kebingungan”, selain itu guru juga memilihkan ilmu mana yang harus didahulukan dan diakhirkan beserta ukuran-ukuran yang harus ditempuh dalam mempelajarinya (Ibrahim Anang, ttp: 32-36).
Dengan demikian guru bukanlah seorang yang mempunyai “otoritas” dalam kelas. Ia juga harus menguasai ilmu jiwa perkembangan agar dapat mengajarkan materi pelajaran sesuai dengan kemampuan peserta didiknya.
Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa guru memiliki peran yang amat urgen didalam membawa peserta didik untuk memperoleh keberhasilan dalam belajar. Maka ia harus mampu menjalankan tugas dan perannya sebaik mungkin, disamping harus memiliki persyaratan-persyaratan sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Zarnūji tersebut.
3. Anak didik atau Murid
Pandangan al-Zarnūji dengan para filosof pendidikan modern mengenai peserta didik hampir senada, yakni sama-sama mengakui bahwa peserta didik adalah manusia yang mempunyai kelebihan dibandingkan makhluk lain. Peserta didik adalah manusia yang mempunyai kecerdasan sebagai potensi yang merupakan kelebihannya. Peserta didik harus mampu mengaktualisasikan ilmu yang telah mereka miliki dalam kehidupan sehari-hari, yang dalam istilah ahli psikologi pendidikan modern disebut “Learning by doing” dan dalam Islam disebut dengan realisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan.
Dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan anak didik terutama mengenai kepribadian atau sikap dan sifat-sifat moral yang harus dimiliki oleh peserta didik, pandangan al-Zarnūji lebih komprehensif dibanding para filosof pendidikan modern.
Dalam pandangan mereka, mereka hanya mengharuskan agar para peserta didik memiliki sifat kuat pendirian, berjiwa besar dan terbuka. Peserta didik dibiarkan berkembang dengan sendirinya, mereka harus aktif dan kreatif, serta mempunyai kebebasan untuk menentukan langkah mereka. Hal ini sesuai dengan sistem demokrasi belajar dalam pandangan mereka.
Sementara dalam pandangan al-Zarnūji, menurutnya jika setiap peserta didik ingin memperoleh ilmu yang bermanfaat baik di dunia maupun akhirat, ia menegaskan agar setiap peserta didik mempunyai sifat-sifat : Tawadhu’, Iffah (sifat menunjukkan harga diri yang menyebabkan seseorang terhindar dari perbuatan yang tidak patut), Tabah, Sabar, Wara’ (menahan diri dari perbuatan yang terlarang) dan Tawakkal yaitu menyerahkan segala perkara kepada Alloh (A. Mudjab Mahali, 1992: 31-33).
Disamping itu, al-Zarnūji juga menganjurkan agar dalam menuntut ilmu, peserta didik hendaknya mencintai ilmu dan hormat kepada guru, keluarganya dan sesama penuntut ilmu lainnya, sayang kepada kitab dan menjaganya dengan baik, bersungguh-sungguh dalam belajar dengan memanfaatkan waktu yang ada, ajeg dan ulet dalam menuntut ilmu serta mempunyai cita-cita tinggi dalam mengejar ilmu pengetahuan (Al-Zarnūji, 1964: 25-26).
Karena itu dalam Kitab Ta’lim al-Muta’allim disana disebutkan kewajiban dan etika yang harus diperhatikan oleh peserta didik, Baik itu terhadap ilmu, guru, teman/ mitra belajar dan diri sendiri.
Termasuk kewajiban dan etika terhadap ilmu antara lain :
b. Ketika akan memulai belajar hendaknya harus diniati untuk mencari ridlo Alloh, kebahagiaan akherat, mengembangkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat Akal dan menghilangkan kebodohan.
c. Dalam mempelajari suatu kitab/ Pembahasan bab, tidak boleh ditinggalkan sebelum sempurna dipelajari. Ini artinya sebelum peserta didik benar-benar faham betul akan apa yang dipelajarinya agar jangan beranjak ke bab berikutnya. Demikian pula tempat belajarnya agar diusahakan jangan berpindah-pindah, kecuali dalam keadaan terpaksa
d. Dalam memuliakan kitab sebagai sumber ilmu hendaknya para peserta didik dalam keadaan suci, tidak membujurkan kakinya ke arah kitab, karena hal tersebut merupakan penghinaan. Disamping itu dalam meletakkan kitab tafsir juga harus diatas kitab-kitab yang lain dan menulis dengan baik supaya tulisannya jelas, jangan menulis dengan huruf yang kecil/menambah catatan dipinggir kitab kecuali terpaksa, juga jangan menulis menggunakan tinta merah (H.A. Mukti Ali, 19.. :46-47).
e. Menghormati peserta didik lainnya sebagai mitra belajar terlebih guru, baik di dalam maupun diluar tempat pembelajaran.
f. Memperhatikan segala ilmu dan khidmat dilandasi rasa mengagungkan dan menghormati sekalipun yang dibahas topik pembelajaran yang sama, yang telah dikuasainya.
Adapun kewajiban dan etika terhadap guru yang harus diperhatikan oleh peserta didik, antara lain : peserta didik dilarang berjalan di depan guru, tidak boleh duduk di tempat guru, tidak boleh berbicara di depan guru kecuali dengan izinnya, tidak banyak berbicara di depannya, tidak menanyakan suatu masalah pada waktu gurunya capai, memelihara waktu yang sudah ditentukan untuk belajar, tidak mengetuk pintu rumahnya tetapi sabar menunggu hingga guru itu keluar dari rumahnya dan lain-lain.
Pokoknya, peserta didik itu supaya selalu berusaha untuk memperoleh ridlo dan perkenan guru dan menjauhi perbuatan yang menyebabkan guru menjadi tidak senang, selain dari pada itu peserta didik juga harus tunduk dan patuh melakukan perintah guru yang bukan maksiyat kepada Alloh.
Sedangkan kewajiban dan etika terhadap teman/ mitra belajar adalah peserta didik hendaknya memilih teman yang tekun, waro’, jujur, dan mudah memahami masalah. Jangan sampai memilih orang yang pemalas, penganggur, banyak bicara, suka mengacau dan gemar memfitnah.
Adapun kewajiban dan etika terhadap diri sendiri, peserta didik hendaknya :
a. Selalu memegangi kesabaran dirinya dalam mengekang kehendak hawa nafsu dan sabar menghadapi berbagai bencana dan cobaan.
b. Tidak menentukan pilihan sendiri terhadap ilmu yang akan dipelajari/ mengatur guru, tetapi mempersilahkan guru untuk menentukannya karena ia tentunya lebih bijaksana dan lebih memahaminya.
c. Bersungguh sungguh dalam belajar, dan secara kontinu (terus menerus) mengulangi pelajaran yang telah lewat.
d. Harus santun terhadap dirinya, artinya jangan sampai memforsir diri melampaui batas kemampuannya dalam belajar. Karena hal itu akan mengakibatkannya jatuh sakit.
e. Harus mempunyai cita-cita yang luhur.
f. Menghayati secara lebih mendalam terhadap bahan/ ilmu yang dikajinya dan mencurahkan segala kemampuannya untuk dapat menguasainya.
g. Menggunakan waktu dengan sebaik mungkin. Artinya setiap kesempatan waktunya dimanfaatkan untuk belajar, terlebih dikala sepi dan malam hari, ia harus betah berlama-lama untuk tidak tidur.
h. Membawa Alat tulis kemanapun perginya, untuk mencatat ilmu dan hikmah yang didapatkannya.
i. Senantiasa bersyukur kepada Alloh dengan lisan, hati, badan dan hartanya, yang diaplikasikan dengan selalu berdo’a, berusaha dan bertawakkal kepada Alloh.
j. Harus zuhud, yakni menyedikitkan urusan duniawi, tidak terlena dan tamak terhadap harta, serta hal-hal lain yang mengganggu belajarnya sehingga konsentrasinya tetap tertuju pada ilmu yang dipelajarinya.
k. Selalu tabah, yakni sanggup menanggung kepayahan/derita hidup dan kehinaan selama menuntut ilmu.
l. Harus waro’, yakni mampu menjaga dirinya dari perbuatan yang dilarang/ dosa. Termasuk waro’ pula, menjaga agar perut tidak terlalu kenyang, tidak banyak tidur dan tidak berbicara yang tdak bermanfaat.
m. Harus tawadhu dan Iffah yakni, senantiasa berakhlak mulia, menjaga harga diri agar terhindar dari perbuatan yang tidak patut. Karenanya jangan bergaul dengan pemalas, penganggur, dan ahli maksiyat.
n. Memperbanyak melakukan sholat, baca al-Quran dan amal-amal sunnah lainnya, karena akan memudahkan dalam mencapai keberhasilan belajar.
Demikianlah kewajiban dan etika yang harus diperhatikan oleh peserta didik agar sukses dalam belajarnya.
4. Fitrah dan Lingkungan
Sejak 14 abad yang lalu Islam telah memiliki konsep tentang fitrah (manusia). Dalam rangka kerangka tauhid, konsep fitrah manusia diawali dengan sebuah moment “bergaining” manusia dengan Alloh SWT dalam hal persaksian yang telah diformulasikan dalam al-qur’an Surat Al-A’raf (7) : 172 :



Artinya : …. Bukankah Aku Tuhanmu ? mereka menjawab : Betul kami bersaksi …. (QS. Al-A’raf (7) : 172)

Disamping itu Hadits Riwayat Imam Muslim (Shahih Muslim, Jilid II, 1416 H: 556) juga menegaskan :


Artinya : Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (Fitrah Islam),kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi.

Dalil-dalil diatas mengandung prinsip bahwa pada dasarnya manusia lahir dalam keadaan fitrah (mempunyai potensi) untuk berkembang, adapun faktor lingkungan merupakan pendukung yang sangat berperan dalam perkembangan manusia secara optimal.
Fitrah laksana emas dan minyak yang tersembunyi di perut bumi, tidak akan ada gunanya kalau tidak digali dan diolah sehingga menjadi kemahiran-kemahiran yang dapat dinikmati manusia. Adapun sarana untuk menggali dan mengolah potensi itu adalah dengan pendidikan (Hasan Langgulung 1983: 215).
Al-Zarnūji dalam masalah lingkungan tidak membahas secara luas, baik lingkungan alamiyah, kebudayaan, maupun lingkungan sosial. Akan tetapi ia hanya menyinggung masalah situasi pergaulan yang menurutnya mempunyai pengaruh besar terhadap pelajar.
Oleh karenanya didalam memilih “Partner”/ mitra dalam belajar maupun dalam pergaulannya sehari-hari, para peserta didik hendaknya berhati-hati dan jeli, jangan sampai salah memilih. Menurutnya, sifat yang perlu diperhatikan dalam memilih teman adalah mereka yang memiliki kesungguhan, wara’, watak yang baik, soleh, cerdas dan lain-lain (Al-Zarnūji, 1964: 24-25).
Demikian juga untuk mencapai keberhasilan belajar, perlu diciptakan situasi kerja sama yang baik antara murid, guru dan orang tua murid (Al-Zarnūji, 1964: 37).
5. Teknik dan Proses Belajar
Dalam hal teknik dan proses belajar, al-Zarnūji berpendapat bahwa proses belajar mengajar hendaknya dilaksanakan sesuai dengan perkembangan jiwa seseorang. Misalnya, pada usia kanak-kanak, aktifitas menghafal dengan cara perulangan harus diutamakan, karena pola pikir anak didik masih bersih, dan anak-anak masih cenderung untuk meniru apa yang disampaikan oleh sang guru. Pada usia pendidikan menengah, anak didik mulai dikenalkan untuk memahami apa yang diajarkan oleh guru. Mata pelajaran yang telah diajarkan bukan sekedar untuk dihafal, tetapi harus dipahami makna-makna yang terkandung didalamnya. Pada tahapan berikutnya, disamping menghafal dan memahami, anak didik harus aktif dan bisa merefleksikan serta kreatif untuk bertanya. Dikatakan oleh al-Zarnūji bahwa bertanya itu lebih baik dari menghafal selama satu bulan, para pelajar hendaknya juga mencatat pelajaran-pelajaran yang telah diberikan oleh guru.
Untuk mencapai keberhasilan dalam belajar, pelajar hendaknya mempunyai kemauan yang keras dan berusaha secara serius, karena sebuah kemauan tanpa disertai adanya usaha yang serius akan mengalami kegagalan, begitu juga semangat yang tanpa disertai kemauan akan gagal pula, sehingga keduanya harus dijalankan secara bersamaan.
Pandangan al-Zarnūji diatas, hampir sejalan dengan para filosof pendidikan dimana keduanya sangat-sangat memperhatikan ilmu jiwa perkembangan. Menurut mereka bahwa pada awalnya anak diajari untuk bermain dan mulai dapat mengenal lingkungan sekitar diluar keluarganya. Selanjutnya dalam periode kedua anak mulai ingin mengetahui apa yang ada di sekitarnya dan pada periode terakhir anak mempunyai perhatian dan refleknya dan bereksperimen.
Satu hal yang membedakan antara keduanya adalah pada masalah penekanannya. Al-Zarnūji lebih menekankan pada penguasaan materi dan pemahaman, lebih lanjut beliau menekankan pentingnya bagi para peserta didik untuk mencatat pelajaran yang telah diberikan oleh guru.
Sedangkan dalam pandangan para filosof pendidikan modern, mereka menekankan pada dua aspek, yaitu inkuiri yang terkait pada materi dan pengalaman yang terkait dengan metode. Sehingga menurut mereka, disamping kurikulum yang bersifat eksperimental, diajukan pula kurikulum yang disebut dengan experience centered curicullum, yakni kurikulum yang menekankan pada pengalaman dengan penekanan pada unit-unit tertentu. Dengan demikian, mereka lebih menekankan metode daripada materi dalam proses pembelajaran.
Adapun berkaitan dengan metode pembelajaran, al-Zarnūji mengemukakan pentingnya cara hafalan dan pemahaman, karena kedua cara ini berkaitan dengan sifat individu. Dalam menghafal, al-Zarnūji (ttp, 34) mengemukakan cara/ metode sistem berkala, yakni dengan jalan mengulang menghafal pelajaran yang kemarin sebanyak lima kali, hari lusa empat kali, kemarin lusa tiga kali, hari sebelumnya du kali dan hari sebelumnya lagi sebanyak satu kali.
Cara ini menurut al-Zarnūji amat sangat efektif dan efisien. Karena dengan cara seperti itu, peserta didik akan dapat benar-benar hafal dan memperoleh kefahaman terhadap apa yang dipelajarinya. Dan para ulama-ulama Islampun sependapat dengan cara al-Zarnūji ini.
Disamping itu, beliau juga mengembangkan metode belajar sebagai berikut :
a. Metode Diskusi (Muthorohah)
Dalam pengertian yang umum diskusi adalah suatu proses yang melibatkan dua atau lebih individu yang berintegrasi secara verbal dan saling berhadapan muka mengenai tujuan atau sasaran yang sudah tertentu melalui cara tukar menukar informasi, mempertahankan pendapat atau pemecahan masalah (Ramayulis, 1990: 127).
Adapun metode diskusi dalam pendidikan adalah suatu cara penyajian atau penyampaian bahan pelajaran dimana guru memberikan kesempatan kepada para siswa atau kelompok-kelompok siswa untuk mengadakan pembicaraan ilmiah guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternatif pemecahan atas sesuatu masalah (Yurmaini dkk, 1980: 47).
Keterlibatan metode diskusi dalam proses pembelajaran mempunyai peran yang amat urgen, karena metode ini merupakan cara belajar yang menyenangkan dan merangsang pengalaman dimana ide-ide, uneg-uneg dan wawasan mengenai sesuatu hal dapat lepas dan didalami, sehingga dapat mengurangi ketegangan-ketegangan batin dan mendatangkan keputusan dalam mengembangkan kebersamaan kelompok sosial.
Berkaitan dengan hal tersebut, al-Zarnūji menyatakan bahwa menggunakan waktu satu jam untuk berdiskusi dan bertukar pikiran lebih bermanfaat dari pada menggunakan waktu satu bulan penuh untuk menghafal. Menurutnya, manfaat diskusi ini adalah menghidupkan jiwa manusia, berpartisipasi mengenal masalah, membiasakan berfikir secara baik, melatih berbicara dengan teratur, menumbuhkan kemampuan untuk mengkritik, menundukkan lawan dan percaya pada diri sendiri (Marasudin Siregar, 1985: 78).
Menilik manfaatnya yang besar dari metode ini, maka peran guru amat sangat besar sekali dan peran serta aktif dari peserta didik juga dituntut guna menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan bersama.
b. Musyawarah (Munadloroh)
Arti musyawarah adalah berunding atau bertukar pikiran yang dilakukan oleh sejumlah orang untuk membahas masalah-masalah tertentu yang dilaksanakan secara teratur dengan tujuan mendapatkan kebenaran. Sedangkan metode musyawarah adalah cara menyajikan bahan pelajaran melalui perundingan untuk mencapai tujuan pembelajaran (Ramayulis, 1990: 138-139)
Metode musyawarah ini amat urgen pula sebagai pencapai tujuan dalam pendidikan. Karena dengan metode ini dapat memperluas dan memperdalam tentang pokok yang dimusyawarahkan serta membina dan merupakan kerja sama dan toleransi dalam bersama-sama mencapai kebenaran yang diinginkan. Oleh karena itu, peran guru dalam hal ini sebagai resource person (manusia sumber) dan petunjuk arah.
Berkaitan dengan hal ini, al-Zarnūji mengatakan bahwa munadloroh adalah cara dalam melaksanakan musyawarah guna mencari kebenaran. Karena itu harus dilakukan dengan penuh penghayatan, kalem, penuh keinsyafan, dan tidak akan berhasil bila dilaksanakan dengan cara kekerasan dan berlatar belakang yang tidak baik (al-Zarnūji, ttp : 30).
Jadi dalam pelaksanaan musyawarah ini, perlu diingat bahwa tujuannya adalah untuk mencari kebenaran, bukan untuk mengobarkan perang lidah (berbicara berbelit-belit) dan mencari kemenangan semata.
c. Forum (Mudzakaroh)
Forum adalah arena terbuka dimana dikemukakan pendapat-pendapat, dicetuskan perasaan-perasaan, ide-ide dan kritik dari hadirin tentang suatu masalah atau beberapa masalah. Sebagai suatu metode mengajar, forum adalah suatu cara menyajikan bahan pelajaran melalui forum. Bahan yang disajikan adakalanya datang dari pihak guru dan ditanggapi oleh peserta (Ramayulis, 1990: 143).
Keterlibatan metode ini dalam pembelajaran, sebenarnya hampir sama dengan metode diskusi dan musyawarah, hanya saja forum tidak diatur secara formil tetapi hanya bersifat informil dan tidak memerlukan persiapan secara serius. Dalam suatu forum setiap peserta adalah anggota tetapi bila berfungsi sebagai metode mengajar biasanya sebagai pemimpinnya adalah guru dan dapat juga peserta didik tertentu. Jadi tetap diatur secara tertib dan baik.
Berkaitan dengan metode ini, al-Zarnūji (ttp: 30) berpendapat bahwa dalam forum (mudzakaroh) hendaknya dilaksanakan dengan tujuan saling menahan diri dengan kesadaran-kesadaran, saling mengingatkan dan saling tukar pikiran dengan dilandasi satu tujuan yakni mencari kebenaran, bukan mencari kemenangan pribadi.
d. Metode Imla’ (Dikte)
Metode imla’ adalah suatu cara menyajikan bahan pelajaran dengan cara menyalin apa-apa yang dikatakan oleh guru. Alat penyajian bahan yang digunakan oleh guru adalah bahasa lisan sedangkan alat para peserta didik adalah alat tulis serta mendengarkannya (Ramayulis, 1990: 179).
Metode ini mengandung pengertian bahwa murid aktif mencatat pelajaran dari apa yang diberikan oleh guru kemudian dihafalkan dan dipahami isinya serta diulang-ulang supaya tertancap didalam hati. Al-Zarnūji (ttp: 29) menjelaskan bahwa sebaiknya peserta didik membuat catatan sendiri mengenai pelajaran-pelajaran yang telah paham dihafalkannya, kemudian sering diulang-ulang kembali, karena cara itu amat besar manfaatnya. Namun jangan sampai menulis apa saja yang ia sendiri tidak tahu maksudnya, sebab hal itu akan menumpulkan otak dan waktupun hilang dengan sia-sia belaka.
e. Sistem Muhadloroh (Kuliah)
Metode ini adalah metode yang sering dilakukan bahkan sudah umum di lembaga pendidikan khususnya perguruan tinggi. Dalam sistem ini agar berfungsi efektif dan efisien para guru/ dosen dituntut untuk menyiapkan bahan yang akan disampaikan melalui catatan poin-poin kemudian memberikan penjelasan masing-masing poin dengan penjelasan yang luas dan dikuatkan dengan pendapat-pendapat para ahli/ dalil yang kuat serta ilmiah. Sementara para peserta didik memperhatikan, merangkum hal-hal yang penting, menganalisa serta menarik kesimpulan.
Dari uraian tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa pemilihan dan penggunaan metode pembelajaran yang tepat akan membantu terwujudnya keberhasilan belajar. Inilah yang harus diperhatikan oleh para guru.
6. Waktu Belajar
Pendidikan dan pengajaran adalah sesuatu yang sangat layak untuk dimiliki setiap manusia yang ingin terangkat derajatnya, sesuai dengan firman Alloh dalam Al-Qur’an Surat Al-Mujadalah ayat 11:



Artinya : …… Alloh akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu dengan beberapa derajat ….

Sedangkan kebodohan adalah ibarat hilangnya fenomena dari proses pendidikan dan pengajaran dan akan menjadi awal dari sebuah kehancuran. Kehidupan yang dilingkupi suasana kebodohan adalah kehidupan yang sia-sia belaka (M. Athiyah al-Abrasy, 1996: 42).
Dengan demikian, belajar atau memperoleh kesempatan untuk belajar, merupakan hak asasi manusia dan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dalam kehidupan umat manusia, dalam hal ini tidak ada bedanya dengan kebutuhan kita terhadap air, udara dan makan. Oleh karena itu kegiatan belajar atau menuntut ilmu, hendaknya senantiasa kita lakukan tanpa batas waktu dan tempat sebagaimana pesan al-Zarnūji (ttp: 4) : “masa belajar itu sejak manusia berada di buaian hingga masuk ke liang kubur”.
Pernyataan diatas, menjadi landasan al-Zarnūji bahwa belajar tidaklah terikat oleh ruang dan waktu, ia bisa berlangsung kapan dan dimana saja, dalam keadaan lapang ataupun sempit, dalam situasi genting ataupun aman, dilakukan secara sendiri atau kelompok. Pendapat al-Zarnūji senada dengan para filosof pendidikan modern yang menyatakan bahwa belajar bukan hanya berlangsung di sekolah, tetapi kapan saja dan dimana saja, baik pada pendidikan formal, informal maupun non formal dan berlangsung selama hayat (long live education).
Erat kaitannya dengan waktu belajar al-Zarnūji menyatakan bahwa waktu yang paling baik untuk belajar adalah pada waktu masih muda/ masa muda (Al-Zarnūji, ttp: 36). Pernyataan ini belum terinci secara jelas artinya kapan dimulainya dan sampai batas mana berakhir. Beberapa sarjana Islam, seperti al-Ghazali, Ibnu Sina, al-Abdari dan Ibnu Khaldun, berpendapat bahwa batas umur dimulainya pendidikan (belajar) bagi anak-anak tidak ditentukan (Athiyah al-Abrasyi, 1990: 187).
Namun demikian ditinjau dari segi perkembangan individu ada tahapan-tahapan usia tertentu dimana anak/ pelajar memulai dan sedang belajar. Tahapan-tahapan itu disusun dalam bentuk periodisasi. Adapun periodisasi tersebut antara lain periodisasi berdasar Biologis, Didaktis dan Psikologis. Hal ini akan penulis uraikan guna melengkapi sekaligus memberikan interpretasi terhadap masa muda dalam pandangan al-Zarnūji.
Montessori (Sumadi Suryabrata, 1991: 197-198), mengemukakan ada empat periode masa perkembangan jika ditilik berdasar biologis, yaitu : Periode I (0,0 – 7,0) adalah periode penangkapan/ penerimaan dan pengaturan dunia luar dengan perantaraan alat dria. Ini adalah rencana motoris dan panca indera yang bersifat keragaan. Periode II (7,0 – 12,0) adalah periode rencana abstrak. Pada masa ini anak-anak mulai memperhatikan hal-hal kesusilaan, menilai perbuatan manusia atas dasar baik buruk, dan karenanya mulai timbul kata hatinya. Periode III (12,0-18,0) adalah periode penemuan diri dan kepekaan sosial. Periode IV (18,0- …) adalah periode pendidikan tinggi. Mahasiswa harus belajar mempertahankan diri terhadap tiap godaan kearah perbuatan-perbuatan yang terkutuk, dan universitas harus melatih Mahasiswa-mahasiswa itu.
Periodisasi berdasar didaktis, menurut Johan Amos Comenius (Sumadi Suryabrata, 1991: 199-200) terbagi menjadi empat yaitu : Scola Materna (Sekolah ibu) untuk umur 0,0 - 6,0 tahun, Scola Vernacula (Sekolah bahasa ibu) untuk umur 6,0 – 12,0 tahun, Scola Latina (sekolah latin) untuk usia 12,0 – 18,0 tahun dan Academia (Akademi) untuk usia 18,0 – 24,0 tahun.
Adapun periodisasi berdasar psikologis, menurut Oswald Kroh (Sumadi Suryabrata, 1991: 201-202) terbagi ke dalam tiga fase, yakni : Fase Trots I (0,0 – 3,0) biasa disebut fase anak-anak awal, Fase Trots II (3,0 – 13,0) biasanya disebut masa keserasian sekolah dan Fase Trots III (13,0 – akhir remaja) biasa disebut masa kematangan.
Al-Zarnūji juga mengungkapkan bahwa waktu yang baik untuk belajar adalah waktu antara maghrib dan Isya serta waktu sahur juga merupakan waktu yang baik untuk belajar.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, pendidikan/ belajar sangat tidak dibatasi oleh usia, tidak juga harus ditempuh dalam lembaga formal, Manusia harus senantiasa berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan apa yang akan diraihnya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, sekalipun beliau telah mencapai segala puncak kehidupan, tetapi beliau masih tetap diperintahkan memohon (berdo’a) sambil berusaha untuk mendapatkan ilmu pengetahuan sebagaimana Firman Alloh dalam Surat Toha ayat 114:


Artinya : Maka Maha Tinggi Alloh Raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukan kepadamu, dan katakanlah “ Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan (QS. Thoha: 114)
Demikianlah jalan/ metode yang harus ditempuh menurut al-Zarnūji yang dapat penulis paparkan guna memperoleh keberhasilan dalam belajar
Setelah menelusuri dan menganalisa pemikiran al- Zarnūji serta membandingkan dengan pendapat para filosof pendidikan modern dalam merumuskan keberhasilan belajar, ada persamaan-perbedaan, kelebihan dan kekurangan yang dapat kita jumpai dari keduanya. Al- Zarnūji yang berpijak pada al-Qur’an dan al-Hadits model pendidikannya lebih cenderung bersifat rohaniyah dan sufistik, sehingga lebih tepat untuk pendidikan keimanan. Sementara para filosof pendidikan modern yang berpijak pada filsafat pragmatisme, model pendidikannya cenderung sekuler dan berorientasi keduniaan tanpa mempertimbangkan sedikitpun nilai-nilai religius.
Oleh karena itu guna memperoleh keberhasilan belajar maka perlu menggunakan metode pembelajaran yang lebih menyentuh realitas budaya modern yang berpegang pada nilai-nilai Islami, yakni model pembelajaran/ pendidikan yang menghasilkan insan kamil/ manusia sempurna jasmani dan rohani. Adapun model metode pembelajaran yang penulis tawarkan adalah sebagai berikut :
1. Kurikulum dan Mata Pelajaran
Kurikulum harus bersifat raelistik, fleksibel dan disusun sesuai dengan perkembangan anak didik dan realitas sosial. Mata pelajaran yang dipelajari semuanya harus dikendalikan dengan nilai-nilai religius.
2. Guru atau Pendidik
Pendidik adalah bukan orang yang otoriter, mereka hanya bertugas membimbing dan mengarahkan fitrah anak untuk mencapai kebahagiaan jasmani dan rohani. Namun dalam pendidikan Islam, guru hendaknya memiliki sifat-sifat tertentu seperti ; alim, sabar, santun, wara’ dan lain-lain.
3. Murid atau Peserta Didik
Dalam belajar hendaknya peserta didik senantiasa bersungguh-sungguh, aktif, kreatif, dinamis memiliki interes dan mampu berinteraksi dengan lingkungannya serta tawadhu’, iffah, tabah, sabar, wara’, berdo’a dan selalu bertawakkal sehingga ilmunya akan bermanfaat di dunia dan akhirat.
4. Fitrah dan Lingkungan
Islam mengajarkan bahwa anak itu lahir membawa berbagai potensi, selanjutnya pabila potensi itu dikembangkan ia akan menjadi manusia yang secara fisik danmental memadai. Sedangkan dalam interaksinya dengan lingkungan, secara instink manusia memiliki rasa tanggung jawab sosial (sosial responbility) yang diperlukan dalam mengembangkan hubungan timbal balik (inter-relasi) dan saling pengaruh mempengaruhi antara sesama anggota masyarakat dalam kesatuan hidup mereka.
Lingkungan merupakan faktor yang dominan dalam perkembangan anak didik, dengan demikian penciptaan lingkungan yang baik dalam kegiatan pembelajaran sangat diperlukan, sehingga anak didik akan mampu berkembang sesuai dengan fitrahnya.
5. Teknik dan Proses Belajar
Alloh berfirman


Artinya : sesungguhnya kamumelalui tingkat demi tingkat dalam kehidupan (QS. Al-Insyiqoq : 9)

Ayat tersebut diatas menunjukkan bahwa manusia mengalami perkembangan dalam kehidupan step by step (setahap demi setahap)
Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran perkembangan jiwa anak perlu mendapat perhatian yang serius. Dalam ayat lain disebutkan :


Artinya : Alloh tidak akan memberi beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya (QS. Al-Baqoroh : 286)

Dalam kaitannya dengan materi pembelajaran, ayat tersebut menunjukkan kepada kita, perlunya melihat kematangan anak didik, sehingga materi pembelajaran yang diajarkan sesuai dengan kemampuan mereka. Karena apabila materi pembelajaran yang diberikan diluar kemampuannya akan membosankan dan mengakibatkan keputusasaan sehingga mereka sungkan untuk belajar.
Pengajaran terhadap motivasi, minat dan kebutuhan peserta didik juga perlu mendapatkan perhatian yang serius, sebab suatu aktivitas yang dilakukan berdasarkan motivasi yang dalam tidak akan mudah lelah dan bosan.
Metode yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan perkembangan anak didik, yakni menghafal digunakan pada tingkat pendidikan dasar, memahami pada tingkat menengah, dan pada tingkat tinggi diharapkan mampu merefleksikan apa yang telah mereka hafal dan pahami.
6. Waktu Belajar
Long live education sudah menjadi kesepakatan para tokoh pendidikan Islam di seluruh dunia. Demikian juga pendidikan Islam di Indonesia hendaknya berpegang pada hadits Nabi yang artinya, “Tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat”. Dengan demikian pendidikan Islam tidak memandang waktu dan tempat dan akan berlangsung kapan dan dimana saja.
Dari uraian diatas penulis dapat menarik kesimpulan, sekaligus sebagai sumbangan pemikiran terhadap pendidikan Islam yang lebih menyentuh realitas sosial dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Islami, yakni; Pendidikan Islam hendaknya berorientasi pada empat faktor sebagai berikut :
a. Religiusitas, yakni pendidikan yang lebih menekankan pada pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang berjiwa religius dengan bakat-bakat keagamaan, sehingga pendidikan Islam tidak cenderung sekuler dan membiarkan anak berkembang tanpa adanya kontrol. Anak didik dididik untuk berkembang dengan tetap berpegang pada nilai-nilai religius.
b. Filosofis, yakni memandang bahwa manusia adalah makhluk rasional atau homo rational, sehingga segala sesuatu yang menyangkut pengembangannya didasarkan pada sejauh mana kemampuan berpikirnya dapat dikembangkan sampai pada titik maksimal perkembangannya
c. Sosio Kultural, yakni bertumpu pada pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang bermasyarakat dan berkebudayaan sehingga dipandang sebagai homo sosius dan homo sapiens dalam kehidupan bermasyarakat yang berkebudayaan.
d. Scientific, dimana titik berat pendidikan terletak pada pandangan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan (kognitif), berkemauan (konotif) dan merasa (emosional atau afektif). Dengan demikian pendidikan harus berorientasi pada pengembangan kemampuan analitis-analitis dan reflektif dalam berfikir.

1 komentar:

  1. Huda, M., & Kartanegara, M. (2015). Islamic Spiritual Character Values of al-Zarnūjī’s Taʻlīm al-Mutaʻallim. Mediterranean Journal of Social Sciences, 6(4), 229.

    BalasHapus